Prof. Antara (baju putih berdasi merah) mendengarkan kesaksian yang meringankan dalam sidang dugaan korupsi dana SPI Unud, Selasa (2/1/2024). (BP/asa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sidang kasus dugaan korupsi Dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi Jalur Mandiri Universitas Udayana (Unud) 2018-2022 dengan terdakwa Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara M.Eng., berlanjut Selasa (2/1). Dalam sidang kali ini, mantan Rektor Universitas Udayana itu diberikan kesempatan mengajukan saksi meringankan atau saksi a de charge.

Hadir rekan terdakwa di Unud dan juga seorang mahasiswa jurusan arkeologi. Dalam kesaksian rekan Prof. Antara ini sempat diwarnai air mata, baik dari saksi maupun terdakwa. Hal ini terjadi saat saksi, Prof. Ir. Nengah Sujaya, ditanya oleh kuasa hukum Prof. Antara soal keluarga terdakwa. Prof. Antara pun terlihat menitikan air mata hingga beberapa kali mengusap air matanya.

Baca juga:  Jalan Sedap Malam akan Diperbaiki

Sidang kali ini juga menghadirkan Putu Candra Diva (mahasiswa) dan Dr. Andreas (dosen Unud).

Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim Agus Akhyudi ini, kuasa hukum Prof. Antara, Hotman Paris, yang sempat menanyakan adanya rektor diborgol saat tahun baru, sedangkan jaksa pesta sama keluarganya, mendapat teguran. Pertanyaan itu sempat membuat jaksa dan hakim kaget karena dinilai di luar dari perkara yang diajukan.

Baca juga:  Nouri Berlatih Sepak Bola di Swedia

Ketika jaksa hendak menginterupsi Hotman, majelis hakim lebih dulu menegur. “Jangan menjatuhkan siapapun. Ini persidangan yang sangat mulia,” pinta hakim.

Selain saksi meringankan, kuasa hukum Prof. Antara juga menghadirkan ahli hukum mantan hakim MK, I Dewa Gede Palguna.

Kuasa hukum terdakwa Gede Pasek Suardika dkk., menanyakan terkait dengan Putusan MK 25 Tahun 2016. Namun lebih spesifik, pihak terdakwa menanyakan siapa yang menentukan kerugian keuangan negara.

Baca juga:  Wariga Bali Diusulkan Jadi Salah Satu Referensi Pilih Bendesa

Ahli berpendapat adalah BPK dan BPKP. Boleh lembaga lain asal ditunjuk oleh BPK atau BPKP. Dijelaskan pula bahwa penghitungan kerugian negara harus faktual atau pasti. Putusan MK itu setara dengan UU, dan berlaku sejak putusan itu selesai dibacakan.

Terkait proses hukum sebelum ada audit, ahli hukum juga menyebut sebetulnya tidak boleh. Artinya, sebagaimana terlontar di persidangan Pengadilan Tipikor Denpasar, selama hasil audit belum ada, peristiwa pidana belum ada. (Miasa/balipost)

BAGIKAN