Ilustrasi: Petugas memeriksa pasien yang menjalani pengobatan cuci darah (hemodialisis) di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA), Malang, Jawa Timur. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Kebiasaan jarang meminum air putih dapat menjadi faktor risiko yang mengharuskan seseorang melakukan terapi cuci darah (hemodialisis) meskipun masih usia muda. Hal tersebut dikatakan Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RA Adaninggar Primaria Nariswari.

“Biasanya pasien muda yang melakukan cuci darah karena tidak suka atau jarang minum air putih,” katanya dalam temu wicara terkait kebiasaan yang menyebabkan cuci darah, yang diikuti secara daring di Jakarta, dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (18/10).

dr Ningz, sapaan akrabnya, mengatakan kebiasaan jarang meminum air putih dapat menyebabkan peradangan pada ginjal dan merupakan risiko awal dari penyakit diabetes, yang kelak juga akan berdampak pada fungsi ginjal.

Baca juga:  Cegah Kecurangan, BPJS Kesehatan Gandeng KPK dan Kemenkes

Ginjal yang sudah kehilangan fungsinya, kata dia, mengakibatkan seseorang harus melakukan terapi cuci darah untuk mengembalikan kualitas hidupnya, karena darah yang kotor dan tak tersaring melalui ginjal dapat menurunkan kualitas hidup seseorang.

“Kalau ginjal tidak berfungsi, maka akan mengganggu metabolisme tubuh. Sampahnya tidak keluar dari tubuh, jadi kayak keracunan,” ujarnya.

Meskipun fungsi ginjal dalam menjernihkan darah dapat digantikan dengan terapi cuci darah, dr Ningz menekankan fungsi ginjal lainnya seperti pembentukan hormon dan enzim yang baik untuk tubuh tidak dapat tergantikan oleh alat. “Jadi meskipun bisa bekerja lagi, tapi tetap tidak seoptimal orang yang tidak melakukan cuci darah,” ucapnya.

Baca juga:  Tahun Ini, Kemenkes Dorong Pencapaian IMD dan Asi Eksklusif Seratus Persen

Lebih lanjut dr Ningz mengungkapkan kerusakan pada ginjal umumnya tidak bergejala, sehingga banyak orang yang tidak sadar bahwa ginjalnya sudah berada pada kerusakan stadium akhir.

Umumnya, lanjut dia, kerusakan ginjal diakibatkan oleh penyakit diabetes dan hipertensi yang tidak terkontrol akibat sejumlah faktor risiko seperti gaya hidup yang tidak sehat, pola dan jenis makanan yang tidak benar, komposisi makanan yang tidak seimbang, jarang melakukan aktivitas fisik, dan merokok.

Baca juga:  Nasional Masih Catat Tren Penurunan Kasus COVID-19, Bali Satu Digit

Untuk itu dia mengimbau masyarakat agar waspada kondisi ginjal agar jangan sampai rusak serta mewaspadai diabetes dan hipertensi dengan mengenali faktor risikonya, agar tubuh tetap sehat dan tidak harus melakukan terapi cuci darah.

“Usia muda jangan jumawa. Karena usia muda yang berpenyakit juga banyak. Jadi jangan mentang-mentang masih muda merasa bebas dari penyakit, itu tidak benar,” tutur dr Ningz. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *