John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Menarik membaca judul tulisan, “Kekayaan Dirut Taspen Rp47 miliar, Tapi Istri Dagang” di ayobandung.com (21/8/23). Selanjutnya penulis Uswatun Khasanah menerangkan, bahwa dengan kekayaan sefantastis itu, semua kebutuhan dan keinginan sang istri, yang ingin ia ceraikan itu, pasti terjamin.

Tapi sang istri, Rina Lauwy, memilih menjalani hidup sederhana dengan menjual jajanan pasar seharga Rp15.000-Rp25.000 di Ambasador Mall lantai 4, di toko bernama Bingkisan Indonesia, Jakarta. Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari kisah ini?

Meski data keras mengenai korupsi sulit diperoleh, namun gambaran kasar mengenai korupsi di negara ini, dapat kita telusuri dari berbagai laporan di berbagai media. Sebagai contoh, kita bisa mengakses laporan mengenai Indeks Persepsi Korupsi yang dilakukan oleh Transparancy International 2022, yang menilai 180 negara berdasarkan skala 0 – 100. Lembaga itu melaporkan bahwa,  berdasarkan skor, Indonesia menduduki ranking 110 dari 180 negara yang diindeks, di mana negara yang menduduki ranking 180 dianggap paling korup di sektor publiknya.

Jumlah kasus korupsi di negeri ini, nyaris tidak terhitung banyaknya. Menurut data Komunisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dari tahun 2004 sampai Agustus 2023, ada 1389 kasus termasuk kasus-kasus besar seperti: kasus korupsi PT Asabri, kasus korupsi Jiwasraya, kasus korupsi Bank Century, kasus korupsi Pelindo II, kasus korupsi Kota Waringin Timur, kasus korupsi BLBI, kasus korupsi Hambalang, dan terakhir kasus korupsi BTS yang menghebohkan. Merebaknya kasus-kasus korupsi dengan penyelesaian yang tidak tuntas ini, membuat masyarakat semakin pesimis dan kehilangan kepercayaan terhadap slogan pemerintah, ingin menumpas korupsi sampai ke akar-akarnya. Tetapi menurut penulis, selalu ada cahaya di ujung terowongan gelap. Kejahatan korupsi masih bisa diatasi, pertama-tama, ketika ada niat baik untuk memahami penyebab terjadinya korupsi.

Baca juga:  Kasus Perdin, Winasa Dieksekusi di Rutan Negara

Secara umum ada tiga teori yang menjelaskan korupsi  sebagai fenomena yang rumit. Pertama, Teori Nilai Fundamental Manusia (fundamental human values theory). Teori ini menjelaskan bahwa korupsi dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut manusia, seperti kekuasaan, pencapaian, hedonisme, egoisme, keamanan, rangsangan, tradisi, bahkan kebajikan. Kedua, Teori orientasi-kebijakan (policy-oriented theory). Teori ini memandang korupsi sebagai produk dari berbagai variabel individu dan struktur yang berinteraksi menghasilkan akibat-akibat positif dan negatif. Teori ini memasukan faktor-faktor seperti keserakahan, tuntutan, insentif, dan berbagai desain.

Ketiga teori modernisasi (moderation theory). Teori ini mengemukakan bahwa, korupsi adalah akibat dari transisi masyarakat trandisional menuju masyarakat modern. Transisi tersebut menciptakan berbagai perubahan sosial dan ekonomi yang mengganggu berbagai norma dan nilai yang ada. Dalam konteks ini korupsi terjadi.

Di Indonesia, korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena berdampak pada banyak aspek kehidupan, antara lain: korupsi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah; korupsi meningkatkan biaya administrasi; korupsi di dalam birokrasi menimbulkan sinisme dan keretakan sosial;

Baca juga:  Otonomi Tata Guna Air Strategi Pengendalian Inflasi

Korupsi berdampak merugikan terhadap moral dan kinerja para pejabat yang jujur; korupsi menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas layanan publik  seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; korupsi juga menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan, karena ia lebih menguntungkan kelompok yang berkuasa dan kaya, ketimbang kelompok miskin dan terpinggirkan; korupsi dapat menyebabkan polusi dan penurunan kualitas lingkungan hidup, karena ia mengabaikan penegakan regulasi dan standar lingkungan.

Model Pemberantasan Korupsi

Ada banyak cara dan usulan tentang cara bagaimana menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya. Penulis menyingkatkan tiga cara yang dalam hemat penulis, cukup stratejik untuk mengatasi persoalan korupsi di negara ini. Pertama, mengakhiri imunitas. Artinya, penegakan hukum yang dilakukan oleh sistem pengadilan yang independen adil dan fair, harus dijamin.

Dengan jaminan itu, para penegak hukum wajib memberantas korupsi dengan, menindak siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, reformasi administrasi publik dan manajemen keuangan. Reformasi administrasi publik dilakukan dalam rangka peningkatan atau perbaikan manajemen keuangan.

Dalam rangka itu, pemerintah didukung masyarakat mendorong dan menguatkan peran agen-agen audit untuk berani dan transparan terhadap informasi pendanaan, pencegahan kebocoran anggaran, dan pemanfaatan sumber daya keuangan secara tepat guna. Masyarakat sebagai stakeholders yang membayar pajak, berhak mengetahui aliran dana yang dipakai.

Ketiga, mendorong transformasi dan akses informasi. Negara-negara yang berhasil mengurangi tingkat korupsi, biasanya memiliki tradisi panjang pemerintahan yang terbuka. Keterbukaan ini menjamin transparansi dan akses informasi, yang pada gilirannya meningkatkan partisipasi publik dalam hal pelaporan dan pengawasan.  Keempat, memberdayakan warga negara. Artinya memperkuat tuntutan masyarakat terhadap sikap anti korupsi yang digaungkan pemerintah dan membuat mereka bertanggungjawab atas sikap tersebut, agar tak lagi sekedar menjadi retorika menjelang Pemilu. Penguatan tersebut harus menjadi usaha berkesinambungan, sebab padanya bergantung kepercayaan timbal balik (mutual trust) antara warga negara dan pemerintah.

Baca juga:  Soal OTT di Bondowoso, Kejaksaan Agung akan Sikat Habis Oknum Salah Gunakan Kewenangan

Kembali kepada Rina Lauwy, istri Dirut Taspen yang menolak menyimpan uang dalam jumlah besar yang ingin dititipkan sang suami, karena dirinya tidak ingin diperalat sebagai tempat penitipan uang yang tidak jelas asal-usulnya. Penolakan ini barangkali aneh, ketika banyak perempuan rela menjadi simpanan orang-orang berduit, asal bisa mendapatkan jaminan hidup.

Hemat penulis, keteguhan moral seperti itu, Ibu Rina peroleh dari nilai-nilai kejujuran serta keadilan yang ditanam oleh keluarganya dan dikuatkan selama masa pendidikannya. Benteng pertahanan terhadap korupsi itu sudah terbangun sebagai bagian dari integritas dirinya. Semoga di era digital ini, masih akan ada lagi kaum perempuan pemberani lain seperti Ibu Rina Lauway yang tampil untuk memerangi tindak pidana korupsi yang semakin merajalela di negeri ini.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka; ia berdomisili di Yogyakarta.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *