Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Masih di bulan pendidikan dan nuansa merayakan Hari Pendidikan Nasional, dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kejadian yang merendahkan martabat pendidikan. Meski sudah dikeluarkan Peraturan Kemenristek No. 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, kasus-kasus terkait pelecehan dan kekerasan seksual yang melibatkan dosen dan mahasiswa masih saja terjadi.

Dosen adalah seorang profesional dalam bidang keahlian tertentu, mesti menjadi tauladan dalam berbagai domain, antara lain dalam urusan perilaku dan sikap bagi para mahasiswa yang diajar dan dibimbingnya, bukan dilecehkan. Total ukur kesuksesan pendidikan, salah satunya adalah melahirkan orang-orang yang berkarakter. Bila pendidiknya yang mentransformasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kurang atau tidak berkarakter, akankah peserta didik yang dihasilkan berkarakter?

Kejadian yang memalukan dan memukul dunia pendidikan lagi-lagi terjadi.  Seorang dosen laki-laki tertangkap kamera CCTV melakukan pelecehan seksual kepada seorang mahasiswi. Oknum dosen, yang dikenal baik ini, yang berkedok ingin membantu korban, bertandang ke tempat kos mahasiswa dan pada tangkapan CCTV terlihat oknum tersebut memeluk pinggang korban dan memaksanya masuk kamar.

Baca juga:  Rangda Nateng Dirah

Bersyukur memang ada tangkapan CCTV sehingga korban memiliki bukti kuat untuk melaporkan kasus pelecehan. Justru pada kebanyakan kasus, korban biasanya tidak memiliki bukti kuat ketika ingin melapor, sehingga sebagai pihak pelapor sering dianggap playing victim. Itu sebabnya banyak kasus akhirnya tidak terlaporkan karena yang menjadi korban biasanya merasa dirinya selain dipermalukan juga sering dipersalahkan.

Kasus yang menimpa dosen pada kasus di atas memang apes, artinya bahwa niat yang awalnya ingin membantu berubah menjadi ‘malapetaka’ ketika dirinya tidak mampu mengontrol diri dan ‘nafsu’. Status seorang profesional menjadi sirna sekejap karena pada akhirnya harus berurusan dengan pihak berwajib dan diancam dipecat dari satuan pendidikan dimana dia bertugas.

Membantu menyelesaikan masalah mahasiswa memang sudah menjadi kewajiban seorang dosen. Namun ketika dilakukan pada tempat dan waktu yang salah,  justru menjadi  boomerang, membahayakan dan membunuh karirnya sendiri. Nasi memang telah menjadi bubur, penyesalan memang selalu datang terlambat.

Baca juga:  Korban "Body Checking" Kontes Kecantikan akan Dimintai Keterangan

Sebelum penyesalan terjadi, sudah selayaknya dosen dan mahasiswa memegang prinsip-prinsip pembimbingan yang sehat dan membangun. Setiap institusi pasti sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (POS) dalam pembimbingan, baik menyangkut pembimbingan akademik dan pembimbingan skripsi atau pembimbingan kegiatan ekstra kurikular. Mahasiswa hendaknya memanfaatkan para dosen sesuai Tupoksinya dalam melakukan bimbingan yang benar. Ada pembimbingan yang sifatnya regular, ada yang non regular atau insidental. Untuk pembimbingan yang regular, institusi tentunya sudah mengatur dan menjadwalkan secara formal, misalnya setiap awal semester. Untuk kasus pembimbingan yang non regular atau insidental, mahasiswa harus pandai-pandai untuk mengkomunikasikan kapan dan dimana bimbingan yang semestinya. Tentu tempat yang paling cocok adalah di kampus dan waktu yang aman adalah pada jam-jam kerja. Baik dosen dan mahasiswa wajib membangun atmosfer bimbingan yang positif dan sehat.

Konteks bimbingan di luar kampus misalnya di rumah dosen bisa disepakati sepanjang ada pihak-pihak lain yang menyaksikan, misalnya ada keluarga dosen di rumah (tidak berduaan antara dosen dan mahasiswa berbeda jenis). Mahasiswa atau mahasiswi bisa datang dengan teman lain yang juga dibimbing oleh dosen yang sama, sehingga bisa melakukan bimbingan bersama. Hindari bimbingan di tempat-tempat sepi yang hanya ada mahasiswa dan dosen saja, seperti di hotel.

Baca juga:  Revolusi Pertanian 4.0

Konteks dan atmosfer yang dihadirkan sudah bernuansa berbeda dan tujuannya pun sudah dapat dipertanyakan. Bila ada indikasi seperti ini diusulkan oleh seorang dosen, mahasiswa yang sudah notabene dewasa dan memiliki nalar yang terasah seharusnya dapat menolak dengan bijaksana tawaran ‘nakal’ tersebut. Jika takut, maka mahasiswa hendaknya dapat melaporkan kepada dosen PA. Bila yang menawarkan adalah PA, maka mahasiswa wajib melapor pada atasan langsung dosen, yaitu Korprodi atau Kajur.

Kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual bisa dihindari bila semua pihak, dosen dan mahasiswa, melakukan tugas dan kewajiban dengan baik dan benar pada setting yang tepat. Selamat Hari Pendidikan Nasional tahun 2023, marilah kita menjadi pribadi-pribadi yang profesional dan berkarakter.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *