Ilustrasi seorang petugas sedang menata tumpukan uang kertas rupiah. (BP/Dokumen)

 

DENPASAR, BALIPOST.com – Dana Pihak Ketiga (DPK) di Bali tumbuh. Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi investasi di Bali. Krama Bali yang memilih untuk berinvestasi menunjukkan gejala penurunan.

Justru investasi banyak diminati dan dilakukan orang luar Bali. Nampaknya, pandemi Covid-19 menimbulkan semacam trauma bagi krama Bali untuk berinvestasi dalam usaha produktif.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw) Bali Trisno Nugroho, Minggu (26/2) mengatakan, Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) triwulan IV 2022 tercatat mengalami akselerasi jika dibandingkan triwulan sebelumnya , terutama disebabkan oleh peningkatan kinerja penghimpunan tabungan. Sementara itu pertumbuhan giro tetap tumbuh tinggi namun melambat dibandingkan triwulan sebelumnya, dan deposito mulai tumbuh positif.

Baca juga:  BI Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Global Mencapai 2,6 Persen

Pada triwulan IV 2022 pertumbuhan DPK 21,68% (yoy)dengan nilai Rp126,48 Triliun. Dari Rp126,48 triliun, Rp70,60 triliun merupakan tabungan dan Rp34,85 triliun merupakan dana deposito dan Rp 21,03 triliun merupakan dana giro. “Tabungan sudah mulai tumbuh 30,72%, deposito tumbuh 0,52%, dan giro tumbuh 37,81%.

Pertumbuhan DPK di Bali tidak sejalan dengan kondisi investasi di Bali. Saat DPK tumbuh, investasi dari luar Bali justru juga tumbuh. Terindikasi dari jual-beli hotel maupun vila di Bali. Sebelumnya Trisno mengatakan, jual beli properti yang marak terjadi di Bali lantaran minat investasi di Bali cukup tinggi.

Baca juga:  Masuki Triwulan IV 2021, Ekonomi Bali Tunjukkan Perbaikan

Namun, investasi justru lebih diminati orang di luar Bali. Sementara masyarakat Bali sendiri lebih memilih simpan uang di bank sehingga terjadi pertumbuhan DPK.

Ia mengatakan investasi di Bali belum terlalu tinggi. Investasi di Bali rata–rata Rp10 triliun sampai Rp12 triliun per tahun. Tahun 2022, PMDN mencapai USD 300 juta, PMA mencapai Rp3,5 triliiun.

Selama 2022-2025 membutuhkan investasi Rp324 triliun selama empat tahun, sehingga perlu Rp80 triliun per tahun. Dengan dibuatnya Kawasan Ekonomi Khusus di Sanur dan Serangan, ia berharap dapat mendorong investasi di Bali. Meski membutuhkan investasi, namun Bali membutuhkan investasi yang ramah lingkungan dan tidak merusak lingkungan agar Bali tetap hijau, udaranya bersih, sampah terkelola, tidak macet, dll.

Baca juga:  Nataru dan Galungan, BI Proyeksi Kebutuhan Uang Kartal Rp 2,5 Triliun

Trisno menyebut, karakter risiko masyarakat Bali bermacam-macam, ada yang berani mengambil risiko, ada yang tidak. Dua tahun pandemi menjadi pembelajaran berharga bagi masyarakat Bali, karena sehebat-hebatnya pengusaha di Bali, untuk bertahan selama dua tahun, tidak akan kuat. “Sehingga dengan demikian masyarakat memilih berjaga–jaga dengan menyimpan uangnya di instrument yang liquid, cash is a king, sehingga mereka menjadi menyimpang di tabungan, giro,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN