Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Sejarah mencatat, Kongres Perempuan Indonesia ke-1 di Yogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928 yang dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera adalah cikal bakal hari Ibu. Adapun penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia ke-3 pada tahun 1938.

Seorang Ibu dan kaum perempuan memiliki kekhasan sebagai mahluk yang diciptakan dengan kodrat halus, ‘merawat’, melestarikan dan menumbuhkan kehidupan. Harmoni kehidupan ini juga identik dengan kehadiran dan hati seorang Ibu. Di ranah pariwisata, kondisi tersebut kerap luput dari perhatian kita yang akhirnya atensi dan pemahaman akan peran strategis kaum Ibu terlupakan. Maka, isu penting yang perlu dikemukakan pada hari Ibu ke-94 tahun ini adalah pentingnya peran Ibu dalam pengembangan pariwisata di berbagai daerah di Tanah Air berdasarkan kapasitas dan latar belakang yang dimiliki.

Peran penting kaum Ibu dalam pembangunan pariwisata terkait erat dengan inti pembangunan pariwisata yang terletak pada Sapta Pesona Wisata, terdiri dari keamanan, kebersihan, ketertiban, kesejukan, keindahan, keramahtamahan, serta memberikan kenangan yang mengesankan pada wisatawan. Di setiap destinasi wisata bertaraf internasional, masyarakat setempat memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam keseharian hidup mereka. Pembangunan kepariwisataan di setiap daerah di Tanah Air mendesak diperlukan internalisasi Sapta Pesona Wisata di setiap elemen masyarakat, terutama menciptakan dan mengondisikan generasi baru Indonesia yang memiliki kesadaran tinggi akan makna penting pariwisata bagi pembangunan negara.

Baca juga:  Peringatan Hari Ibu Ke-91, Kaum Perempuan Berdaya Indonesia akan Maju

Internalisasi nilai Sapta Pesona Wisata tanpa disadari telah dan terus dijalankan kaum Ibu kepada anak-anaknya di dalam rumah. Artinya, dari tempat berlangsungnya, penanaman nilai Sapta Pesona Wisata yang dijalankan kaum Ibu ada pada ranah pendidikan informal.

Daoed Joesoef (1999) menyatakan, pendidikan keluarga memiliki fungsi sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak, menjamin kehidupan emosional anak, menanamkan dasar pendidikan moral, memberikan dasar pendidikan kesosialan dan meletakkan dasar pendidikan agama pada anak. Pendidikan keluarga juga memiliki sifat umum sebagai lembaga pendidikan tertua, lembaga pendidikan informal, lembaga pendidikan pertama dan utama dan bersifat kodrat.

Penanaman nilai kebersihan misalnya, kaum Ibu mendidik anak-anaknya sejak dari rumah untuk menjaga kebersihan, keasrian dan kesehatan lingkungan sekitar di mana pun berada. Seorang Ibu dengan kekhasannya juga menanamkan nilai-nilai positif (nilai-nilai kehidupan) kepada anak-anaknya, baik itu solider dan peka terhadap lingkungan, maupun memiliki jiwa yang hangat dan ramah, welcome dan helpful kepada orang lain. Ini semua merupakan penerjemahan nilai Sapta Pesona Wisata yang tanpa disadari dikontribusikan kaum Ibu untuk pembangunan pariwisata di dalam negeri melalui ‘pengaderan’ generasi bangsa yang sadar wisata.

Baca juga:  Masih Ada Kesenjangan Gender dalam Dimensi Ekonomi

Peran penting kaum Ibu dalam hal ini menjadi ujung tombak yang dapat diandalkan untuk menciptakan keteladanan kepada anak dalam hal kebersihan, keramahan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal khususnya. Tak hanya itu, tatkala bepergian bersama keluarga, kaum Ibu juga tetap menjalankan perannya sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Di area wisata dan di tempat-tempat umum kaum Ibu memastikan anak-anaknya menjaga ketertiban dan keindahan.

Kaum Ibu juga banyak mengkontribusikan sifat-sifat sebagai produsen dan ulet di bidang pariwisata. Mereka menghasilkan produk-produk khas daerah sebagai merchandise pariwisata, baik itu batik, handicraft, kuliner, dan banyak lagi. Banyak cerita ketangguhan woman entrepreneur di bidang pariwisata di berbagai daerah. Di Surabaya, misalnya, eksistensi batik Dewi Saraswati yang dilahirkan dari perjuangan tak kenal lelah Hj. Putu Sulistiani Prabowo memberikan nilai lebih bagi pariwisata kota tersebut. Juga ada Mbak Endang, generasi ketiga Rawon Setan yang tetap melestarikan makanan khas Surabaya dengan prinsip manajemen modern.

Di Bali, ada perempuan hebat yang meletakkan dasar ekowisata di Bali khususnya, dan menjadi inspirasi bagi Indonesia, yakni Ida Ayu Agung Mas. Melalui talenta, ilmu pengetahuan dan kemampuannya menerapkan idealisme kepariwisataan berbasis masyarakat yang menghadirkan kesejahteraan sepenuhnya bagi warga lokal, tegaknya martabat budaya lokal dan kelestarian bumi rumah kita bersama, Sua Bali yang didirikannya menjadi tonggak eksistensi ekowisata Indonesia.

Baca juga:  Terungkap, Ibu Pembuang Orok Bayi Kembar

Melihat peran strategis dan kontribusi kaum Ibu yang signifikan bagi kehidupan dan sektor pariwisata, maka merayakan hari Ibu ini juga semakin penting untuk dimaknai dengan pemahaman bahwa kaum Ibu pun memiliki hak untuk berwisata. Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pasal 18 ayat 1 butir a disebutkan, setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata. Sementara itu, pasal 3 menyatakan, kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Artinya, balas jasa terhadap kaum Ibu dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu keluarga, pemerintah maupun swasta, dengan memungkinkannya mendapatkan hak-hak berwisata. Tanpa memandang strata sosial-ekonomi, setiap kaum Ibu memiliki hak berwisata untuk kesegaran jasmani, rohani dan intelektualnya. Selamat hari Ibu ke-94 tahun.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *