I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Artika

Bagaimana pun juga, MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) tidak luput dari ide-ide dekonstruksi terhadap stagnasi panjang dan fosilisme. Berbagai kondisi dan mental status quo dunia pendidikan hendak dibongkar. Kanal-kanal birokrasi sedang diurai dengan praktik-praktik disrupsi, seperti lewat jaringan kepemimpinan persekolahan dengan konsep kepemimpinan sekolah yang benar-benar baru: Guru Penggerak.

Paradigma dekonstruksi atau dengan ungkapan yang lebih “manis” desrupsi pada awalnya dipicu oleh kenyataan besar dan fosilisasi, yakni institusi keong, paling lamban berubah, kaku, dan buntu adalah pendidikan. Sekolah memang telah bertumbuh menjadi lembaga isolasi sosial. Sekolah-sekolah selalu jauh tertinggal di tengah berbagai kemajuan. Sekolah sebagaimana tampak pada materi, metode dan aktivitas belajar adalah dunia asing dan mengasingkan para siswanya. Benaralah kata-kata W.S. Rendra dalam “Seonggok Jagung di Kamar” dan pada beberapa puisi bertema pendidikan lainnya, seperti “Sajak Sebatang Lisong.

Kondisi fosil-fosil status quo persekolahan yang di dalamnya para guru bersepakat menjalani kerja di zona nyaman: rutinisme mengajar dan mesinisasi jiwa. Di lembaga sosial yang hampir hanya menawarkan “pemasungan” semacam itu, anak-anak dikirim oleh orang tua mereka dan sejak prasekolah hingga SMA menghabiskan kurang lebih 15 tahun, waktu yang paling indah dalam hidup manusia. Para ahli pendidikan sudah berkali-kali pula melakukan kajian terhadap kondisi itu dan pemerintah berkali-kali melakukan inovasi. Namun demikian, selalu gagal. Penyebabnya adalah guru yang bemental status quo, mesinisme. Terbukti yang paling bermasalah dalam infrastruktur persekolahan sejatinya adalah guru namun guru sendiri selalu menyalahkan siswa. Guru rupanya terlalu banyak berlindung di bawah kuasa sosial dirinya dan hal ini justru diterima oleh masyarakat. Pada kasus-kasus tertentu, orang tua yang kritis terhadap sekolah, tidak berkutik menghadapi iklim sekolah anak-anak mereka yang sakit karena akan bisa berakibat lebih buruk pada anak-anak mereka. Kuasa sosial guru sering digunakan untuk melawan balik kritik orang tua dengan mengembangkan satu pardigma, yakni menjadikan anak-anak sebagai prisai hidup.

Baca juga:  Menyoal Bebas Sampah Plastik

Dalam waktu yang singkat gerakan perubahan masif yang dipayungi oleh dekonstruksi pendidikan di era disrupsi mampu menandingi fosil narasi besar pendidikan status quo. Dunia persekolahan mulai “mendidih”. Fosil pendidikan status quo tidak kuat lagi melakukan resistensi terhadap perubahan. Mahasiswa dimerdekakan dengan berbagai program belajar di luar kampus. Maka seorang dosen mengajar mahasiswa dari berabagi universitas di Indonesia dalam bingkai atau kategori MBKM mahasiswa inbound, mahasiswa luar universitas yang mengikuti kuliah di sebuah universitas. Ciri lain kuliah inbound adalah variasi latar belakang keilmuan mahasiswa. Sebelumnya seorang dosen sangat dibantu oleh suatu kondisi homogen satu kelas mahasiswanya. Mereka semua mahasiswa satu “aliran” atau satu tujuan.

Baca juga:  Pagerwesi, Perayaan Pagar Jiwa dan Peneguhan Lahir Batin

Namun dalam kelas-kelas MBKM seorang dosen memberi kuliah sastra (sebagai contoh) kepada mahasiswa teknologi pertanian, informatika, pendidikan guru sekolah dasar, hukum, hubungan internasional, dan lain sebagainya, bergantung kepada mahasiswa yang memilih kuliah inbound di suatu universitas. Pada jenis program MBKM yang dibahas dalam tulisan ini, program ini menjadi tantangan kritis terhadap seorang dosen pengampu yang mata kuliahnya ditawarkan secara terbuka dan ternyata mendapat cukup banyak peminat.

Cerita ini berubah seratus delapan puluh derajat dalam MBKM. Dosen menghdapi mahasiswa dengan latar belakang keilmuan yang beragam. Lantas, mungkin seorang dosen bergeming menghadapi kenyataan ini karena dirinya berpikir bahwa mahasiswalah yang harus menyesuaikan diri dengan mata kuliahnya.

Seorang dosen MBKM dituntut dapat memerdekakan dirinya dalam beberapa hal, seperti mulai menyadari bahwa mahasiswa yang mengikuti kuliah-kuliahnya adalah mahasiswa dengan latar belakang keiilmnuan dan minat utama yang beragam, bahkan mereka sama sekali baru pada mata kuliah yang dipilihnya dalam kelas-kelas inbound. Dosen tidak boleh menutup akses akademik atas bidang ilmu dan keilmuan yang selama ini ditekuni dan dikembangkan.

Baca juga:  Kartini di Era Disrupsi Digital

Dosen amat menyadari bahwa tanggung jawab keilmuannya tidak hanya dalam ruang-ruang yang khusus pada sekelompok orang pilihan yang tertutup atau ekslusif. Dosen tidak cukup hanya menulis kajian-kajian ilmu dibaca dalam forum terbatas dan sangat khusus atau menyiarkan temuan-temuan mutakhirnya di jurnal bereputasi dan terindeks agen-agen ilmu internasional. Dosen memerdekakan diri dalam kelas-kelas MBKM bahwa siapa saja bisa belajar ilmu yang dikembangkannya. Ia harus membuka akses luas kepada siapapun. Tantangan dosen MBKM adalah membawa ilmu kepada mahasiswa yang sangat awam namun memiliki daya tarik.

Mungkin sangat enak bicara musik di hadapan musisi atau mahasiswa sekolah musik. Tapi bagaimana bicara musik di hadapan para petani? Begitupun betapa nikmat bicara puisi di komunitas penyair gila yang telah melupakan hidup ketimbang mengajak seorang ibu penjaja camilan di pantai bersama baca puisi? Di kelas-kelas inbound MBKM dosen harus merdeka dari fanatisme dan kungkungan ilmunya sendiri dan merdeka atas niat dan minat para mahasiswa yang ingin belajar pada dirinya, sekalipun semua itu bermula dari keasingan.

Penulis, Dosen Undiksha Singaraja

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *