Sebuah jalan putus di Karangasem diakibatkan banjir bandang yang melanda kawasan itu pada 17 Oktober 2022. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai bencana ekologi akibat krisis iklim yang melanda Bali jelang KTT G20 harus menjadi peringatan bagi pemimpin negara G20 untuk menghentikan solusi palsu terkait krisis iklim. Para pemimpin negara G20 harus serius melakukan transisi energi terbarukan dan berkeadilan. Demikian dikemukakan Financial Campaigner 350 Indonesia, Suriadi Darmoko.

Ia memaparkan dalam rilisnya, catatan dari BMKG, hujan ekstrem di Bali terjadi pada 22 titik penakar hujan dengan nilai berkisar antara 105 mm/hari hingga 344 mm/hari. Rekor baru curah hujan harian tertinggi tercapai pada 17 Oktober 2022 di beberapa titik pos hujan seperti Palasari, Nusasari, Yehembang Kangin, Jatiluwih, Payangan, Besakih, dan Abang.

Baca juga:  Usada Usug Bali Padukan Fisioterapi dan Pijat Tradisional

Sementara itu, kejadian hujan yang merupakan perulangan dari kejadian ekstrem pada tahun-tahun sebelumnya terjadi di 14 pos hujan lainnya. “Penggunaan energi fosil sebagai penyebab krisis iklim harus segera dihentikan, jika kita ingin bencana-bencana akibat krisis iklim ini tidak semakin meluas,” ujarnya.

Dalam KTT G20 yang akan berlangsung 15-16 November di Bali, jelas menyebutkan transisi energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utamanya. Sayangnya, lanjut Suriadi, dalam komunike di level menteri, G20 gagal mencapai kesepakatan. “Saat ini justru ada informasi bahwa mekanisme kerjasama transisi energi berkeadilan (Just Energy Transition Partnership – JETP) untuk Indonesia akan diluncurkan di KTT G20,” jelasnya.

Baca juga:  Kabupaten Ini, Laporkan Tambahan Harian Pasien COVID-19 Sembuh hingga 78 Orang

Ia menyoroti apakah JETP ini nantinya akan mendorong transisi energi yang berkeadilan secara sejati? Atau justru hanya akan dimanfaatkan untuk mendorong solusi-solusi palsu yang tidak menjawab tantangan krisis iklim dan kerusakan lingkungan dampak dari energi fosil.

Salah satu kekhawatiran yang mendasar dari skema JETP dan juga skema pendanaan transisi energi lainnya, lanjut Suriadi, adalah transparansi. “Ketiadaan transparansi dalam proses JETP untuk Indonesia itu membuat minimnya keterlibatan masyarakat,” tegasnya.

Pemerintah Indonesia sendiri sebagai tuan rumah KTT G20, lanjutnya, tidak begitu serius melakukan transisi energi terbarukan yang berkeadilan. “Kementerian ESDM misalnya, justru mewacanakan penggunaan energi yang mereka bikin label hijau, tapi masih berbasiskan batu bara dan energi fosil lainnya,” jelasnya.

Baca juga:  Satgas Penanganan COVID-19 Buka Bali untuk PPLN Wisata

Sementara itu, menurut Indonesia Team Lead 350, Firdaus Cahyadi, semua berharap mekanisme pendanaan apapun termasuk JETP, yang rencananya akan diluncurkan di KTT G20, tidak akan mengakomodasi solusi palsu. “Apapun skema pendanaannya, harus benar-benar mampu mengakhiri penggunaan energi fosil, berkeadilan bagi masyarakat rentan dan transparan,” tegasnya.

Hal ini sejalan dengan desakan koalisi masyarakat sipil di mana 350 juga tergabung di dalamnya. “Proses perencanaan dan implementasi transisi energi untuk mitigasi krisis iklim harus menekankan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatkan masyarakat terdampak,” kata Firdaus. (kmb/balipost)

BAGIKAN