Suasana di kawasan bedeng yang ada di Denpasar. Warga berpenghasilan rendah akan makin terjepit dengan ancaman stagflasi. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Lebih dari resesi, stagflasi juga diprediksi akan terjadi pada 2023. Yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi akan dibarengi dengan inflasi yang tinggi. Warga berpenghasilan rendah makin terjepit karena pendapatan akan mengalami penurunan, sementara harga-harga terutama kebutuhan pokok semakin tinggi. Demikian dikemukakan Pengamat Ekonomi Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., M.M., saat diwawancarai, Jumat (14/10).

Ia mengatakan, ancaman stagflasi lebih berat daripada resesi. “Kalau resesi kan hanya perlambatan ekonomi dua kuartal berturut-turut dengan adanya pengangguran lebih banyak,” ungkapnya.

Baca juga:  Satu Terduga Pelaku Perburuan Liar di TNBB Ditangkap di Klungkung

Dengan terjadinya stagflasi, Prof. Raka mengatakan,
masyarakat berpenghasilan rendah dihadapi dengan
harga-harga kebutuhan yang tinggi akibat inflasi. Kondisi
ini membuat pendapatan real masyarakat akan semakin
menurun. “Karena biasanya uang Rp12.000 dapat 1 kilogram beras, namun saat ini harga satu kilogram beras
Rp14.000, jadi dia berkurang pendapatannya,” terang Guru
Besar Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) ini.

Inflasi yang tinggi menurutnya, akan memberi dampak besar bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Menghadapi situasi stagflasi, dikatakannya, kondisi di Indonesia tidak akan terlalu parah, mengingat dapat
menghasilkan pangan sendiri. Tidak seperti negara lain
yang impor pangannya terlalu tinggi.

Baca juga:  Stok Beras di Pengungsian Kosong Sejak 3 Hari, Pengajuan Masih Diproses

Hanya, ia memprediksi kondisi dunia akan terdampak pada pertumbuhan ekonomi yang mengalami perlambatan. Kondisi ini akan membuat bisnis baru tidak muncul, karena suku bunga mengalami peningkatan untuk menekan inflasi.

Meningkatnya suku bunga membuat bisnis lesu, bisnis baru pun tidak muncul serta berdampak pada kebutuhan tenaga kerja menurun sehingga terjadi peningkatan pengangguran. Menghadapi kondisi tersebut, menurut Prof. Raka pemerintah harus cermat dan butuh kerja sama dari berbagai pihak dengan kebijakan fiskal. “Proyek-proyek harus jalan. Bisa dalam bentuk pengerjaan saluran, infrastruktur dan lainnya. Dengan demikian orang-orang memperoleh pendapatan, kemudian akan berbelanja. Pedagang mendapatkan pendapatan, kemudian belanja kagi. Akan terjadi multiplier efek,” jelasnya.

Baca juga:  Ini, Tiga Besar Penyumbang Tambahan Kasus COVID-19 Terbanyak di Bali

Menurutnya, bantuan yang diberikan tidak mutlak BLT (Bantuan Langsung Tunai), melainkan berbentuk Natura
sesuai kebutuhan masyarakat. “BLT bisa diberikan kepada yang memang benar-benar tidak mampu,” imbuhnya. (Widi/bisnisbali)

BAGIKAN