Prof. IB Raka Suardana. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pengamat ekonomi Prof. IB. Raka Suardana, Rabu (28/9) mengatakan pelaku usaha maupun perbankan akan sama-sama mengalami kesulitan jika restrukturisasi tidak diperpanjang. Hal itu karena kondisi ekonomi Bali belum pulih sehingga sulit bagi pengusaha untuk menyelesaikan kewajiban. Sementara perbankan juga akan kesulitan karena agunan yang diambil alih (AYDA) tak diselesaikan akan menggerus modal perbankan.

Ia mengatakan, perpanjangan POJK nomor 17 tahun 2021 sedang dibahas. Kondisi ini sangat berat bagi pelaku usaha di Bali karena pariwisata belum pulih. “Contohnya tamu yang datang 1 Agustus baru sebanyak 880 ribu, sedangkan pada tahun 2019 mencapai 4,5 juta. Sehingga kondisi ini tentu tidak baik-baik amat,” ungkapnya.

Perbankan juga demikian. Dengan berakhirnya kebijakan restrukturisasi akan meningkatkan biaya Agunan yang Diambil Alih (AYDA) sehingga akan menggerus modal bank. Agunan yang disimpan ada batas waktunya sehingga jika tak mampu dijual maka akan menggerus modal bank.

Baca juga:  Rendah, Realisasi KUR untuk Pertanian

Dengan demikian, jika restrukturisasi tidak diperpanjang maka akan sama–sama merugikan dan menyusahkan perbankan maupun pelaku jasa keuangan. “OJK harus mempertimbangkan betul apakah akan memperpanjang atau tidak kebijakan restrukturisasi ini. Jika tidak diperpanjang, maka tentu akan berat bagi pengusaha dan bank. Pengusaha di Bali masih megap-megap karena berbagai tekanan, inflasi yang tinggi, dan kebijakan regulator terkait perbankan juga mencekik. Kondisi usaha khususnya pariwisata juga belum baik,” bebernya.

Dalam kondisi tak menentu saat ini ditambah dengan kenaikan suku bunga bank sentral, perbankan harus lebih prudent dalam menyalurkan kredit. Perbankan harus melihat usaha–usaha yang masih prospektif untuk dibiayai agar tak menjadi beban ketika restrukturisasi tak lagi diperpanjang.

Baca juga:  Kabar Gembira!! 2,5 Bulan Catatkan Kematian, Hari Ini Bali Laporkan Nihil Tambahan Kasus Meninggal Covid-19

“Karena pertumbuhan ekonomi sudah positif, namun sayangnya pertumbuhan ekonomi lebih kecil dari inflasi. Dengan kondisi itu, perbankan secara perlahan juga harus menyelesaikan kredit bermasalah dan dan restrukturisasinya karena 2023 restrukturisasi berakhir. Sedangkan sekarang situasi ekonomi sedang tidak memungkinkan untuk menyelesaikan restrukturisasi sehingga perlu kebijakan relaksasi,” ujarnya.

Pengamat perbankan Nyoman Sender mengatakan, memang dunia perbankan serba sulit karena suku bunga naik akan sangat berdampak negative dalam operasionalnya. Biaya dana bank semakin mahal sementara untuk menaikkan suku bunga kredit bisa–bisa debitur tambah macet yang sudah menderita akibat pandemi Covid-19 dua tahun lebih. Untuk bisa bertahan, dunia perbankan mesti ekspansi secara terbatas dan selektif sekali. Kredit hanya diberikan secara prudent agar kualitas portofolio kredit terjaga dengan NPL rendah. Sementara itu biaya–biaya operasional agar diusahakan seefisien mungkin.

Baca juga:  Dinilai Berbahaya, OJK Punya Wewenang Penuh Tindak Pidana Keuangan

Menurut Direktur Utama BPR Kanti I Made Arya Amitaba, dalam kondisi ekonomi saat ini perlu gebrakan dan keberanian dalam menggairahkan kembali ekonomi. Hal itu telah dilakukannya saat pandemi, ia menjadi Apex Bank dengan membantu BPR dan koperasi di Bali dalam memenuhi likuiditasnya.

Hasilnya, per Juni 2022, membukukan pertumbuhan kredit BPR- nya 48%, asset tumbuh 52%, Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 30% dengan kualitas kredit 2%. “Terbukti dengan niat membantu, kami bisa membukukan kinerja luar biasa bahkan pertumbuhannya belum pernah dicapai saat kondisi normal, sebelum pandemi,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN