Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Kasus gua yang dijadikan restoran The Cave dalam area Hotel The Edge Pecatu di Jalan Goa Lempeh Desa Pecatu, Kuta Selatan cukup menyita perhatian publik beberapa waktu yang lalu. Gua yang berwujud rongga bawah tanah tersebut diperkirakan sudah berusia ribuan tahun, jika menilik keberadaan stalaktit-stalakmit yang sudah menyatu membentuk pilar.

Meski berusia ribuan tahun, hasil kajian Dinas Kebudayaan Badung bersama tim pakar Unud, Balai Pelestarian Cagar Budaya, dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, menyatakan gua tersebut bukan Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB). Namun demikian tetap diperlukan perizinan dari instansi terkait utamanya tentang carriying capacity dan keselamatan pengunjung.

Di satu sisi, pihak Hotel The Edge Pecatu melihat adanya peluang investasi restoran di area hotel yang dikelolanya. Sementara di pihak pemerintah daerah selaku pemegang otoritas perizinan, belum memiliki aturan tata ruang rinci yang memadai guna mewadahi minat pihak investor untuk melakukan investasi bisnisnya.

Baca juga:  Pencabutan Perda Jalur Hijau Dibahas, DPRD Buleleng Minta Pemkab Jamin Tak Ada Alihfungsi

Dikotomi antara kesiapan aturan tata ruang dengan minat investasi, juga terjadi pada kasus yang menimpa beach club Atlas Beach Fest di Pantai Berawa, Canggu, Bali. Diduga Atlas Beach Fest belum mengantongi izin operasional secara lengkap, karena baru memiliki izin Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui institusi OSS (Online Single Submission).

Situasi seperti di atas memang acapkali terjadi. Hal ini karena peluang investasi yang dilihat para investor seringkali belum diimbangi dengan keberadaan perangkat aturan tata ruang yang sesuai. Aturan tata ruang yang bersifat teknis operasional di lapangan sering belum lengkap, meski peraturan perundangannya telah ada. Seperti halnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, telah hadir pada dekade pertama tahun 2000. Namun Undang-Undang saja tidaklah cukup untuk melaksanakan aturan Penataan Ruang yang terkandung di dalamnya. Masih diperlukan peraturan turunan yang lebih teknis untuk mengimplementasikannya.

Baca juga:  Pemurnian Politik

Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang baru terbit di tahun 2021, melalui PP Nomor 21 Tahun 2021. Akibatnya banyak investasi yang harus tertunda dikarenakan belum ada kejelasan aturan teknis tata ruangnya sebagai dasar melengkapi perizinannya. Aturan tentang tata ruang memang menjadi pintu masuk kehadiran investasi. Seringkali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi sebagaimana diamanatkan Pasal 13 PP No. 21 Tahum 2021 sudah dimiliki Provinsi, namun RTRW Kabupaten/Kota sesuai amanat Pasal 17 dan 20 PP No. 21 Tahun 2021 belum juga terbit. Padahal RTRW Kabupaten/Kota ini menjadi dasar penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota

Pada kelanjutannya RDTR Kabupaten/Kota yang bersifat lebih rinci lengkap dengan zonasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 pada PP No. 21 Tahun 2021, juga terlambat terbit. Sementara perizinan investasi di daerah membutuhkan kejelasan zonasi kawasan yang akan menjadi area garapan bisnis investor terkait. Dalam hal ini ketidaksesuaian data yang dimiliki, antara pemerintah daerah dan pusat, sering menjadi kendala dalam penerbitan RDTR Kabupaten/Kota yang memang memerlukan sinkronisasi data antara pemerintah daerah dan pusat. Seperti yang terjadi pada penerbitan RDTR Kabupaten Tabanan, karena adanya perbedaan data luasan lahan persawahan.

Baca juga:  Sanksi Adat

Agar investor tertarik untuk berinvestasi di Pulau Bali memang dibutuhkan kejelasan aturan tata ruang yang rinci. Sehingga investor merasa aman dan nyaman berinvestasi. Akan lebih baik jika aturan tata ruang sudah juga mencakup adanya Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), guna kejelasan pemrosesan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG)-nya.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN