Beberapa warga hendak naik Trans Metro Dewata di Jalan Gajah Mada, Denpasar. Jumlah warga kota dalam memanfaatkan transportasi umum di Denpasar tergolong minim. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di tengah naiknya harga BBM, pemerintah mengingatkan warga untuk menggunakan transportasi umum. Alasannya bisa menghemat pengeluaran BBM.

Namun di Bali, warga masih enggan menggunakan transportasi umum karena sejumlah permasalahan. Akibatnya, kenaikan jumlah kendaraan sangat tinggi mencapai belasan persen per tahun, sedangkan panjang jalan tumbuh di bawah 2 persen dalam periode sama.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan di Provinsi Bali selama periode waktu 10 tahun, dari  2010-2020, meningkat rata-rata sebesar 15,97% per tahun. Yakni dari 1.717.615 unit pada tahun 2010 menjadi 4.460.158 di 2020.

Sementara, pada periode waktu yang sama, panjang jalan meningkat 1,79% per tahun. Ini mencerminkan pertumbuhan jumlah kendaraan jauh lebih pesat dari kemampuan untuk menyediakan prasarana jalan.

Baca juga:  Wagub Cok Ace Buka Rakerda Pramuka Tahun 2022

Menurut Guru Besar Unud, Prof. Ir. Putu Alit Suthanaya, ST, MEngSc, PhD., khusus untuk wilayah perkotaan Sarbagita, luas jaringan jalan dibandingkan luas wilayah hanya sekitar 6 persen, masih jauh dari kondisi ideal 15 persen. Sistem angkutan umum massal diakui menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas dan pengeluaran BBM.

Namun dalam kenyataannya kondisi angkutan umum mengalami keterpurukan dari waktu ke waktu. Angkot dan Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang beroperasi saat ini, dapat dihitung dengan jari tangan. “Armada yang lama dengan kondisi layanan yang buruk dan tarif mahal telah menyebabkan kian ditinggalkannya angkutan umum oleh masyarakat,” ujarnya.

Kehadiran angkutan umum yang disubsidi oleh pemerintah, dengan konsep “Buy the Service” dan kualitas armada yang baik di wilayah perkotaan Sarbagita, tak juga mendongkrak minat warga meliriknya. Tingkat isian (load factor) masih belum sesuai harapan, padahal sudah digratiskan. “Dari kondisi ini kita bisa mengambil hikmah bahwa hanya dengan menggratiskan tarif angkutan umum tidak serta merta dapat membuat masyarakat beralih menggunakan angkutan umum,” bebernya.

Baca juga:  Antisipasi Puncak Arus Balik Libur Nataru, Bali Siapkan Shuttle Bus di 3 Lokasi

Permasalahan angkutan umum yang kurang diminati oleh masyarakat, diakuinya karena angkutan umum belum dapat melayani pergerakan dari asal ke tujuan (first mile-last mile) dengan baik. Selain itu, feeder service yang menghantarkan masyarakat ke titik tujuan akhir tidak tersedia. Fasilitas pejalan kaki juga belum memadai dan tidak terintegrasi dengan koridor layanan angkutan umum.

Permasalahan lain, kata dia, angkutan umum yang ada saat ini, belum bisa diandalkan dan kurang tepat waktu. Bahkan, angkutan umum ini ternyata juga ikut terjebak dalam kemacetan lalu lintas.

Baca juga:  Bus Metro Dewata Segera Masuk Ubud, Ini Reaksi Organda Gianyar

Faktor lain yang juga mempengaruhi karena masih relatif murahnya harga sepeda motor. Tentu hal itu juga mengakibatkan kenyamanan penggunaan kendaraan pribadi yang melampaui kenyamanan penggunaan angkutan umum.

Lebih lanjut, permasalahan lainnya, struktur jaringan trayek angkutan umum yang belum optimal sehingga menyebabkan frekuensi perpindahan moda relatif tinggi. Tidak tersedianya fasilitas park and ride yang memadai. “Strategi pengembangan angkutan umum dapat dilakukan dengan mengurai permasalahan-permasalahan yang ada tersebut satu per satu,” ujarnya. (Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *