Pedagang tengah menyiapkan daging ayam di Pasar Badung, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hingga Juni 2022, inflasi kumulatif (ytd) Bali sudah melampaui rentang target inflasi nasional (3±1%) yakni sebesar 4,2 persen. Ujungnya, daya beli masyarakat Bali masih tertekan.

Untuk menjaga daya beli, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) kluster sosial masih terus berjalan.
Berdasarkan data Ditjen Perbendaharaan (DJPB) Provinsi Bali hingga Juni 2022, masih ada program sembako bagi 166.181 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dengan total anggaran Rp167,69 miliar. Selain itu, program keluarga harapan (PKH) bagi 109.710 KPM dengan total anggaran Rp173,66 miliar, dan program BLT Desa bagi 536.449 KPM di Bali Nusra dengan total anggaran Rp861,57 miliar. Ada program baru BLT migor Kemensos bagi 168.462 KPM dengan total anggaran Rp50,54 miliar.

Meski demikian gejolak inflasi tak dapat dihindari. Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, GA. Diah Utari dalam pernyataannya yang dikutip, Senin (25/7) mengungkapkan faktor- faktor penyebab
inflasi yakni krisis geopolitik, kebijakan proteksi pangan, zero covid policy di Tiongkok, gangguan rantai pasok dan kenaikan suku bunga di negara maju yang mendorong pergerakan aliran modal ke negara
maju dan akhirnya berakibat pada pelemahan nilai tukar.

Baca juga:  Antisipasi Lonjakan Inflasi, Tingkat Konsumsi Harus Dijaga

Lebih lanjut, Diah menyampaikan inflasi Juni 2022 di
Provinsi Bali terutama bersumber dari kenaikan harga
kelompok volatile food (cabai rawit, cabai merah, dan bawang merah). Hal ini disebabkan curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi suplai komoditas tersebut. Penyumbang inflasi disusul core inflation,
yakni canang sari.

Di tengah belum terkendalinya inflasi, ada sejumlah potensi risiko ke depan yang perlu diwaspadai. Yakni adanya pola historis volatile food dalam tren meningkat pada Agustus-Desember, potensi angin monsoon Australia yang meningkatkan curah hujan dan berisiko menurunkan produksi cabai merah, cabai rawit, bawang merah dan tomat. Komoditas daging sapi juga perlu diwaspadai seiring adanya potensi risiko penyebaran Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Bali yang berpotensi mengganggu pasokan daging sapi.

Baca juga:  DPRD Bali Tak Sepakat MUDP Ikut Urusi LPD

Pada inflasi inti (core inflation), terdapat risiko kenaikan permintaan selama musim liburan sekolah (domestik) dan liburan musim panas (wisatawan mancanegara), serta sumbangan inflasi dari biaya pendidikan (tahun ajaran baru).

Sementara di sisi inflasi dari harga barang yang diatur Pemerintah (administered price inflation), terdapat risiko kenaikan tarif dasar listrik, harga gas dan energi yang dapat menimbulkan dampak lanjutan pada peningkatan harga bahan makanan jadi dan kenaikan tarif tiket pesawat.

Baca juga:  AS Ajukan Tuntutan Pidana Terhadap Teroris Bom Bali

Bank Indonesia memberikan beberapa rekomendasi yaitu perlu adanya upaya bersama yang intensif dalam
jangka pendek untuk mengendalikan inflasi bahan pangan khususnya komoditas hortikultura seperti menjaga kecukupan stok bahan pangan untuk internal Bali. Salah satunya dengan mendorong KAD antara daerah yang surplus dengan daerah defisit bahan pangan.

Selain itu perlunya memotong rantai distribusi untuk mengurangi biaya diantaranya dengan pembelian langsung produk bahan pangan oleh Perusda kepada petani, mengintensifkan operasi pasar murah produk pangan agar lebih nyata dampaknya terhadap inflasi, serta mengintensifkan kembali gerakan tanam cabai di pekarangan rumah dan memberikan bantuan bibit cabai kepada rumah tangga. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN