Peternak Babi melakukan penyemprotan di kandang. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan penghentian sementara pengiriman ternak ke luar Bali untuk antisipasi wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Kebijakan ini disesalkan peternak babi yang tergabung dalam Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali.

Menurut Ketua GUPBI Bali, Ketut Hariyasa, Senin (23/5), kebijakan ini tidak disertai solusi pengiriman hewan, khususnya babi, sehingga berdampak pada kerugian peternak.

“Produk kita menjadi overweight, sebulan tidak ada penyelesaian. Harga sempat turun Rp2 ribu namun tak sampai jatuh banget. Ini indikator Bali belum pulih. Kalau populasinya sudah pulih maka harga pasti jatuh pada titik terendah,” ujarnya.

Menjelang hari raya Galungan yang akan datang, menurutnya tidak mengalami kendala berarti dengan adanya kasus ini, baik dari sisi harga maupun jumlahnya, karena populasi babi di Bali mulai membaik pascaterkena wabah 2019 lalu.

Namun diakui populasi babi belum pulih betul sehingga tidak benar jika ada yang mengatakan Bali oversupply babi. Akibat dari ketidakjelasan dari pemda dan pemerintah pusat terkait lalu lintas hewan ini, diakui minat untuk kembali beternak
memulihkan populasi akibat wabah sebelumnya juga surut.

Terhentinya lalu lintas babi ini dalam 1 bulan, ada 12.000 ekor babi tidak terserap karena biasanya peternak per minggu mengirim babi keluar 3.000 ekor. Terkait permasalahan ini, pihaknya sempat menyampaikan solusi agar diizinkan hanya melintas bukan stay atau transit.

Baca juga:  BBTF Hasilkan Transaksi Rp 7 Triliun

Ia juga sudah membuatkan peta agar tidak melalui daerah wabah. Jika diizinkan pihaknya juga akan mempersiapkan biosecurity. “Solusi yang ditawarkan tersebut tidak diizinkan, tapi pemerintah malah sibuk menyuruh kita menggunakan transportasi kapal laut untuk sampai Jakarta. Sementara biaya menggunakan kapal laut untuk satu ekor sapi mencapai Rp1 juta dan babi mencapai Rp700 ribu. Biaya ini 4 kali lebih mahal dari transportasi lewat darat. Biayanya tidak murah,” ujarnya.

Anggota GUPBI pun telah mencoba mencari solusi menggunakan tol laut atau kapal laut. Namun dari 10 kapal yang dihubungi, tidak satupun mau mengirim babi. “Jadinya sampai saat ini belum ada solusi. Bagaimana dengan masyarakat yang menggantungkan dari babi,” ungkapnya.

Seperti diketahui PMK ini merupakan penyakit yang telah ada obat dan vaksinnya. Bali sudah berpengalaman melawan wabah ini. Namun ia menilai perlakuan pemerintah terhadap wabah ini begitu ekstrem sehingga wilayah yang tidak terdampak PMK menjadi kena hukuman oleh situasi ini.

Justru pada wabah ASF yang tidak ada obat dan vaksin perlakuannya tidak seseram pada kasus PMK ini. Menurutnya kebijakan pemerintah pusat ini
menjadi kontraproduktif, di satu sisi mengantisipasi penyebaran wabah dengan cara yang tidak logis, di satu sisi tidak memikirkan dampak ekonomis bagi peternak. “Apalagi virus PMK yang menyerang Indonesia merupakan golongan O namun perlakuannya begitu kejam, pemecahan masalahnya tidak logis dengan penutupan lalu lintas. Sementara SE dari Mentan, satupun tidak menyebutkan bahwa ada penutupan. SE Menteri hanya menyebutkan pengawasan, dengan persyaratan tertentu. Masalahnya babi di wilayah terdampak, masuk di zona abu-abu boleh lewat sedangkan kita di wilayah tidak terdampak, tidak boleh karena antarpulau,” ujarnya.

Baca juga:  Dukung UMKM, Gojek Gandeng Yayasan Bina Wisata Ubud

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, I Wayan Sunada mengatakan, meskipun Pemda Jawa Timur sudah memberi sedikit kelonggaran terkait lalu lintas hewan, namun diakui ia tidak bisa bekerja sendiri. Kewenangan pengawasan lalu lintas hewan di pintu masuk antarpulau (wilayah kerja karantina) merupakan kewenangan Balai Karantina.

“Sebenarnya sampai hari ini dari aspek produksi kita tidak ada masalah dengan kasus Penyakit Mulut dan Kuku. Bali juga tidak terkena wabah ini karena kita jaga ketat pintu masuk. Sejak dikabarkan ada kasus di Jawa Timur, kita sudah langsung menerapkan biosecurity ketat di Gilimanuk dan memperketat pengawasan di pintu masuk lainnya,” ujarnya.

Baca juga:  Tak Semua Babi Tertular MSS

Namun kerawanan Bali terhadap penyakit hewan ini tidak bisa dimungkiri karena wabah PMK telah terjadi di Pulau Lombok dan di Jawa Timur. Menurutnya Bali tidak sampai kena karena cukup ketatnya pengawasan lalu lintas hewan ke Bali.

Selain di pintu masuk, ia juga menempatkan petugas di setiap kabupaten untuk memantau kasus. Ada tiga kabupaten yang diprioritaskan dijaga ketat yaitu Jembrana, Buleleng dan Karangasem.

Dalam rangka pengangkutan hewan pihaknya pun telah bersurat ke Direktur P3HP agar dapat mengangkut hewan dengan kapal laut. Jika wabah ini sampai masuk Bali, upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memisahkan hewan yang tertular dengan hewan yang sehat.

Meski penyebaran PMK dapat berlangsung dengan cepat namun PMK dapat sembuh, bahkan kematian di Jawa Timur hanya 1% dari kasus, dan PMK tidak menular ke manusia (bukan zoonosis). Ia memahami kerugian yang diderita peternak akibat tidak bisa mengirim ternak keluarBali. Namun yang mengeluarkan surat edaran pengawasan lalulintas adalah Menteri Pertanian. Ia berharap peternak dapat mencari peluang lainnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN