Dr. I Wayan Sunada, SP.,M.Agb. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor pertanian dengan pertanian organik menjadi salah satu konsep Ekonomi Kerthi Bali yang dicetuskan Gubernur Bali, Wayan Koster untuk mewujudkan Bali berdikari dalam bidang ekonomi yang dibangun dan dikembangkan berlandaskan nilai-nilai filosofi Sad Kerthi dengan memiliki 6 sektor unggulan sebagai pilar perekonomian Bali. Sehingga, untuk mewaspadai potensi krisis pangan di Bali, Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali telah memiliki sejumlah rencana aksi ekonomi kerthi Bali di sektor pertanian. Rencana aksi ini diwujudkan melalui 4 program prioritas di bidang pertanian.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Dr. I Wayan Sunada, SP.,M.Agb., mengatakan ada 4 program prioritas rencana aksi ekonomi kerthi Bali yang tengah dikembangkan Pemerintah Provinsi Bali di sektor pertanian. Pertama, Program Peningkatkan Produksi, Ketersediaan, dan Konsumsi Pangan Berkualitas. Kedua, Program Sistem Pertanian Organik (SPO). Ketiga, Program Peningkatkan Nilai Tambah dan Daya Saing (NTDS); dan keempat, Program Pengembangan Kelembagaan Petani Terintegrasi Hulu – Hilir berbasis kawasan (Kelembagaan Bersama Satupintu/KBS).

Dipaparkan, program peningkatkan produksi, ketersediaan, dan konsumsi pangan berkualitas dilakukan dengan mengembangkan komoditas unggulan wilayah komoditi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, dan talas), komoditi holtikultura/buah (manggis, mangga, salak, jeruk, anggur, durian, alpukat, pisang, semangka, rambutan, melon, dan stroberi), komoditi holtikultura/sayuran (kubis, aneka cabe, bawang merah, bawang putih, tomat, selada, wortel, dan kentang), komoditi perkembunan (kopi, jambu mente, kakao, kelapa, panili), dan komoditi peternakan (sapi Bali, babi Bali, dan ayam Bali).

Selain itu, juga dikembangkan komoditi unggulan endemik Bali. Dalam bentuk kegiatan inventarisasi Tanaman Gumi Banten, Usadha dan Upakara; Pengembangan Taman Gumi Banten; dan Pengembangan Model Taman Gumi Banten Berbasis Desa Adat. Tidak hanya itu, untuk meningkatkan keterseidaan pangan, juga dilakukan melalui upaya optimalisasi pemanfaatan lahan pertanian dan pengelolaan air irigasi untuk pertanian. Sedangkan dalam rangka mencoba mengatasi kelangkaan tenaga kerja di sector pertanian dan meningkatkan efisiensi usaha, dilakukan melalui fasilitasi alat dan mesin pertanian pra panen maupun pasca panen, fasilitasi dan pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), merevitalisasi dan fasilitasi “sekeha memula” dan “sekeha manyi” melalui pembinaan dan fasilitasi alsintan pra/pasca panen, serta pengembangan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM)/lumbung pangan. Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan petani/pelaku usaha dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan vokasi dalam bentuk pelatihan maupun bimbingan teknis.

Baca juga:  Chris John Bertekad Cetak Juara Tinju Asli Bali

Sementara itu, untuk Program Sistem Pertanian Organik (SPO) dilakukan melalui pengembangan sistem pertanian organik yang pelaksanaannya difokuskan di Daerah Aliran Sungai (DAS), di sekitar kawasan danau (Danau Batur, Beratan, Buyan & Tamblingan), area/Kawasan di pinggiran laut, di daerah hulu sumber mata air, dan di kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Jatiluwih yang juga merupakan Kawasan hulu. Selain itu, juga dilalukan pengembangan SPO komoditas Kopi di Daerah perlindungan Indikasi Geografis di Kintamani dan Pupuan, pengembangan SPO komoditas Kakao di Jembrana, komoditas Salak di Sibetan – Karangasem, dan komoditas Manggis di Pupuan – Tabanan, serta komoditas Jeruk di Kintaman – Bangli.

Untuk Program Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing (NTDS) dilakukan dengan memfasilitasi dan pengembangan pengolahan hasil tanaman pangan, hasil holtikultura (jeruk dan salak), dan hasil perkebunan (Kakao, Kopi, dan Mete). Memfasilitasi alat dan mesin pertanian pasca panen, memfasilitasi pembiayaan pertanian, pengembangan eksport komoditas pertanian (kopi, kakao, panili, manggis, durian, alpukat, mangga, dan buah naga). Menjawab perkembangan di era teknologi informasi, dilakukan melalui digitalisasi pertanian dalam bentuk pengembangan “smart farming”. Untuk lebih memberikan jaminan pasar dan kepastian harga dilakukan melalui upaya pengembangan kemitraan usaha, pelatihan manajemen kewirausahaan bagi petani muda, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan, dan gerakan pemasyarakatan produk pertanian lokal.

Baca juga:  Potensi dan Tantangan Digitalisasi UMKM

Sedangkan, untuk Program Kengembangan Kelembagaan Petani Terintegrasi Hulu – Hilir Berbasis Kawasan (Kelembagaan Bersama Satupintu/KBS) dilakukan dengan pengembangan KBS berbasis kawasan Komoditi Padi pada kawasan Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak Jatiluwih, pengembangan kelembagaan kelompok bersama satupintu (KBS) berbasis komoditi sayuran di Kintamani, pengembangan KBS berbasis Kakao di Melaya, Jembrana, dan pengembangan KBS berbasis Kopi di Pupuan. Di samping itu juga dilakukan pengembangan KBS berbasis Kopi di Kintamani, komoditi Salak di Karangasem, Manggis di Pupuan, komoditi Mete di Kubu- Karangasem, dan komoditi buah-buahan di Buleleng.

“Melalui pelaksanaan keempat program tersebut, tentu diharapkan mampu membantu upaya perwujudan ketahanan pangan wilayah, meningkatkan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Bali, meningkatkan NTP sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani,” ujar Wayan Sunada, Jumat (20/5). (kmb)

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Sucipta, MP., mengatakan ketahanan pangan dapat dipenuhi dengan jumlah, mutu, dan keamanan pangannya. Pangan harus tersedia dari waktu ke waktu, daerah ke daerah, dan bisa diakses oleh setiap individu. Berkaitan dengan penguatan ketahanan pangan, upaya itu harus didukung dan disambut baik selama membawa manfaat dan nilai positif. Setiap prakarsa atau inisiatif untuk bisa memperbaiki atau meningkatkan ketersediaan pangan itu harus dieksplor, digali dan dikembangkan.

Pemanfaatan maksimal dan pengurangan bagian yang terbuang dari bahan baku pangan bisa berkontribusi terhadap penguatan ketahanan pangan. Hal tersebut dilakukan melalui kerja sama antara pemerintah, industri pangan serta masyarakat. “Potensi sektor pertanian Bali juga bisa kita lihat dari sisi ekspornya. Berbagai komoditas pertanian dan kelautan yang menjadi penopang ekspor Bali, antara lain komoditas kelautan seperti kepiting, udang, ikan tuna, mutiara, rumput laut serta komoditas hortikultura dan perkebunan seperti tanaman obat, buah-buahan, panili, kopi, kakao,” tandas Prof. Sucipta.

Baca juga:  Program Prioritas

Dengan adanya komoditas unggulan pertanian Bali tersebut, dikatakan bahwa potensi pengembangan sektor pertanian di Bali kedepan masih sangat besar. Namun demikian, sejumlah tantangan juga masih menghadang. Pertama, dari sisi faktor produksi, teknologi produksi masih rendah dengan kapasitas SDM yang terbatas. Sehingga, produktivias masih rendah dan nilai tambah pengolahan komoditas juga terbatas. Kedua, dari sisi kelembagaan, peran kelembagaan kelompok tani juga masih belum optimal baik dari sisi hulu seperti pengawasan praktek bertani yang baik (Good Agriculture Practices) maupun dari sisi hulu seperti implementasi korporatisasi petani untuk mencapai skala ekonomi, mendapat pembiayaan, dan pasar yang lebih pasti. Ketiga, tantangan terkait kerjasama perdagangan luar negeri (ekspor) yang mencakup hambatan non tarif, seperti pemenuhan persyaratan/sertifikasi pasar internasional maupun hambatan tarif yang dikenakan oleh negara pasar.

Terkait tantangan-tantangan tersebut, terutama terkait peningkatan produktivitas dan nilai tambah, maka perlu transformasi pertanian ke arah digitalisasi pertanian atau pertanian 4.0). Penerapan digitalisasi pertanian di sisi hulu diharapkan akan mengubah cara bertani, perilaku petani, hingga cara penyediaan input. Kemudian, digitalisasi sisi hilir akan memperluas cakupan pasar, efisiensi harga, hingga cara penjualan produk,” tegasnya.

Dikatakan, upaya digitalisasi pertanian di Bali dapat dilakukan melalui berbagai model dan inovasi. Seperti, pertanian vertikal, pertanian presisi, dan pertanian pintar (smart farming). Di wilayah Bali, penerapan Pertanian 4.0 masih terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh faktor struktural, seperti ketersediaan infrastruktur dan sumber daya manusia. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN