Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A. (BP/Istimewa)

Oleh Prof. Dr. Ni Made Ratminingsih, M.A.

Cinta adalah kata magis yang memiliki kekuatan dahsyat. Semua di muka bumi ini ada karena cinta dari Sang Pencipta. Alam semesta dan segala isinya termasuk manusia tak terkecuali ada karena cinta dari Sang Kan Paraning Dumadi, Beliau Yang Maha Mengadakan.

Cinta secara umum bermakna perasaan terdalam yang berbentuk rasa kasih sayang. Kasih sayang tidak hanya terbatas antara mereka yang berlawanan jenis yang sedang di mabuk cinta, tetapi kasih sayang terhadap seluruh entitas yang ada di muka bumi, tanpa memandang segala perbedaan yang dimiliki.

Belakangan manusia modern mulai mengenal Hari Valentine sebagai Hari Kasih Sayang dan banyak dari kita di Indonesia terutama pasangan muda-mudi termasuk juga pasangan suami istri merayakan hari ini sebagai hari untuk memperkuat tali kasih sayang. Tidak ada yang salah dengan parayaan ini.

Merayakan cinta sebagai bentuk kasih sayang kepada orang lain yaitu pacar, pasangan, orangtua, dan teman adalah sesuatu yang indah, karena kasih sayang mengajarkan kita untuk berbuat dan bersikap baik kepada sesama. Fenomena yang terjadi belakangan adalah manusia banyak kehilangan cinta yang sesungguhnya. Cinta banyak dikondisikan bahkan dibatasi.

Baca juga:  Momentum Kebangkitan Disabilitas

Cinta kepada Tuhan pun dibatasi hanya pada satu agama atau golongan tertentu. Betapa cinta dimaknai dengan sangat teramat terbatas. Sebagai contoh kejadian yang viral baru-baru ini, yaitu seorang anak manusia yang bisa dikatakan “beragama” dari tampilannya, mestinya memiliki dan mengembangkan nilai-nilai ketuhanan pada dirinya. Namun, yang dilakukan justru sangat berlawanan, dia dengan sengaja menendang sesajen yang dipersembahkan oleh umat beragama lain, yang sesungguhnya umat ini sedang memuliakan Tuhan atas cinta kasih-Nya serta memohon ampunan atas bencana yang dihadirkan.

Pemuda ini bahkan mengata-ngatai dengan asumsinya sendiri bahwa sesajen ini yang menyebabkan Tuhan murka. Dari mana asal asumsi ini, kalau bukan karena kebencian akan perbedaan? Kasus lainnya juga tak kalah „serem?, yaitu kasus yang memaknai cinta terbatas pada golongannya. Kasus ujaran kebencian yang disampaikan seorang kader partai tertentu. Kebencian terhadap pemerintah yang sah dan menolak apapun yang menjadi kebijakannya terkait pemindahan ibu kota ke Kalimantan menjadikannya kebablasan yang sampai membuat satu pulau tersinggung dan memanas.

Manusia sudah terlalu sering lupa diri, beraksi semena-mena demi kepentingannya bahkan mengatasnamakan Tuhan (padahal secara emperis tidak pernah mendapatkan ijin atau sertifikat) untuk melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak mengandung kebenaran (hoaks), serta senang menyebar kebencian. Bila kita mau merenung, adakah dari kita pernah berpikir bahwa justru Tuhan sedang “murka” karena manusia telah banyak bergelimang dosa dan kehilangan cinta? Tuhan turun ke bumi dengan memberi berbagai masalah berupa bencana alam (banjir, gunung meletus, banjir lahar, tanah longsor, angin puting beliuang) dan penyakit (virus Covid-19) yang tak kunjung berhenti.

Baca juga:  Menjaga Warisan Ekonomi Kebudayaan Bali

Bila kita menelisik lebih dalam ke hati sanubari kita, Tuhan tidak pernah membeda-bedakan cintanya kepada semua makhluk hidup. Sebagai contoh, matahari yang tiada lelah menyinari semua makhluk hidup di muka bumi tiap hari tanpa kecuali. Matahari tidak pernah membedakan siapa saja yang diberikan sinarnya, apakah itu manusia, binatang, ataupun tumbuhan. Semua mendapatkan sinar yang sama. Pun air dan udara sumber kehidupan lainnya juga tidak pernah membeda-bedakan kepada siapa saja air dan udara tersebut harus diberikan. Semua makhluk di muka bumi berbahagia mendapatkan semua kemurahan Cinta-Nya.

Baca juga:  Bhatara Tolangkir sebagai Pusat Spiritual Raja dan Pemimpin Bali

Belajar dari alam, matahari, air, dan udara yang tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang, maka manusia sebagai makhluk ciptaanNya mestinya malu dengan apa yang telah dilakukannya melalui cinta yang dimaknai secara terbatas. Terbatas hanya pada agama atau golongan tertentu. Tuhan melalui alam mengajarkan kita tidak melihat dunia secara sempit. Tuhan melalui berbagai ajaran agama tidak pernah mengajarkan kebencian itu. Semua agama yang diajarkan adalah kebaikan, kasih sayang, dan kedamaian agar manusia punya pedoman hidup untuk menjadikan dirinya bahagia.

Pun halnya dengan hari Valentine, hari kasih sayang yang didengungkan awalnya di Eropa, hendaknya tidak dimaknai secara terbatas pada tanggal 14 Februari saja. Cinta mestinya dihadirkan setiap saat dan di mana saja. Cinta bisa dihadirkan dari hal terkecil, cinta kepada keluarga antara orangtua dan anak, cinta kepada sesama manusia tanpa membeda-bedakan SARA, cinta kepada makhluk hidup lainnya, cinta kepada masyarakat dan pemerintah, cinta kepada negara dan bangsa, dan berbagai bentuk cinta lainnya. Selamat Hari Cinta.

Penulis, Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *