Joko Yulianto. (BP/Istimewa)

Oleh Joko Yuliyanto

Polemik pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 masih bergulir dalam perdebatan moral dan politik. Di satu sisi pemerintah memperhatikan dampak politik, ekonomi, dan keamanan.

Di sisi lain masyarakat dibuat resah dengan terus bertambahnya kasus baru Covid-19. Tercatat per 25 November 2020, sudah ada 511.836 kasus positif Corona dengan 16.225 jiwa di antaranya meninggal dunia (https://covid19.go.id/). Grafik peningkatan jumlah sebaran Covid-19 juga meningkat setiap harinya.

Sikap optimisme Presiden Joko Widodo beberapa bulan lalu seakan menjadi penegasan bahwa pilkada tetap akan dilaksanakan dengan memperhatikan protokol kesehatan. Disertai dengan argumen perbandingan jumlah kasus dengan negara lain yang menurutnya Indonesia lebih baik dalam hal penanganan persebaran kasus Covid-19. Tentu sikap pemerintah mempunyai misi tersendiri dengan tetap menjalankan pilkada meskipun menurut beberapa pengamat akan menimbulkan persebaran kasus baru setelahnya.

Menurut Niccolo Machiavelli, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali. Penguasa akan lebih mengutamakan kesuksesan dirinya atau kelompoknya, sehingga tidak ada perhatian moral atau etika di dalam ranah politik. Hanya ada satu kaidah dalam etika politik: yang baik adalah apa saja yang bisa memperkuat kekuasaan pemimpin. Situasi seperti ini merupakan realitas dalam sistem politik di sebuah negara. Kepentingan paling utama dalam hubungan politik internasional adalah aspek ekonomi masing-masing negara. Sehingga pilihan yang lebih realistis diambil penguasa adalah mengutamakan jalannya roda perekonomian yang kemudian dianggap mengorbankan kesehatan masyarakatnya sendiri.

Baca juga:  La Nina dan Tata Ruang Bali

Selain itu, politik cenderung lebih mementingkan ambisi daripada etika. Kondisi realita politik ditandai dengan adanya sikap anarkis kekuasaan, di mana rakyat mulai skeptis terhadap kepemimpinan penguasa atau lembaga atau instansi yang berada di belakangnya. Situasi seperti ini akan ditemukan dalam sistem kekuasaan diktator yang ingin memberikan ketakutan agar rakyat tidak berani melawan penguasa. Dalam dinamika politik di Indonesia, sikap diktator sering dimanipulasi dengan narasi keadilan untuk menimbulkan kesan pemimpin yang bermoral dan beretika, merakyat. Seolah mementingkan kebahagiaan rakyatnya daripada pemimpinnya sendiri. Sejatinya, setiap individu manusia cenderung  berpikir tentang ambisi kekuasaan.

Baca juga:  Pendidikan dan Teknologi di Era Society 5.0

Pelaksanaan Pilkada

Pemilihan kepala daerah di Indonesia akan digelar secara serentak di tahun 2020 untuk daerah-daerah dengan masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021. Pemilihan umum kepada daerah rencananya akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Total daerah yang akan melaksanakan pilkada tahun 2020 sebanyak 270 daerah; dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Melihat bagaimana persebaran kasus Covid-19 yang tidak jelas kapan selesainya, pemerintah mengambil risiko tetap mengadakan pilkada serentak dengan mempertimbangkan variabel lain yang mungkin memengaruhi stabilitas politik dan ekonomi negara. Bahkan di beberapa daerah, calon gubernur, wali kota, dan bupati sudah mulai menggerakkan massa untuk menggelar kampanye dan orasi di panggung-panggung masyarakat. Keberlangsungan pemerintahan dirasa lebih penting daripada keselamatan warga.

Baca juga:  Perkuat Pariwisata dengan Pajak Turis

Dalam etika politik, penguasa harus bersikap jujur dan tanggung jawab. Artinya tidak menganggap rakyat sebagai objek penguasa. Publik sudah banyak melihat permainan-permainan politik penguasa dalam memainkan peran dari setiap kebijakan yang diambil, sehingga patut disadari sikap skeptisme masyarakat yang sudah mengakar terhadap pemerintah. Penguasa harus tetap mengedepankan kepentingan rakyatnya, meskipun harus mengorbankan popularitasnya.

Dalam konteks kejujuran berpolitik, ada suatu istilah yang disebut desepsi yang berarti membuat publik percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, menipu, atau membohongi. Desepsi meliputi sikap berbohong, mengingkari janji, berkhianat, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan pertanyaan. Kebijakan politik sebagai instrumen untuk meraih kebajikan melalui artikulasi kepentingan, seharusnya didasari oleh sikap kejujuran dari penguasa.

Penulis, penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis buku dan naskah drama. Aktif menulis opini di media daring

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *