Dr. I Wayan Rideng, SH.,MH. (BP/Istimewa)

Oleh Wayan Rideng

Berdasarkan atas berbagai produk hukum yang diterbitkan, yang menjadi perhatian publik terkait PPKM adalah penerbitan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahuan 2021 tentang Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4, level 3, level 2 Corona Virus Disease 19 di Wilayah Jawa Bali. Penglasteran tersebut,
didasarkan atas assessment terhadap dinamika yang terjadi pada situasi wilayah tertentu.

Keberlakuan tersebut, memunculkan pro dan kontra
oleh publik di tengah-tengah mulai melandainya
paparan Covid-19. Secara psikis, karena hampir dua tahun masyarakat dihadapkan pada situasi yang tidak menentu bahkan telah menghilangkan harapan hidup karena telah terjadi pemutusan hubungan pekerjaan dan hilangnya kesempatan berusaha.

Lebih parahnya lagi, terhadap daerah yang mengandalkan pendapatnya dari sektor pariwisata.
Sektor pariwisata yang juga merupakan industri, berimbas secara signifikan bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini.

Sebagai daerah tujuan wisata, pergantian tahun yang juga dibarengi rangkaian perayaan hari raya keagamaan memberikan secercah harapan untuk
memulai bangkit dari keterpurukan. Seiring dengan hal tersebut, bak petir di siang bolong, muncul virus varian baru yang dinamakan Omicron.

Baca juga:  Selama PPKM, Penertiban Prokes Dibarengi Razia Perut Lapar

Untuk itu, pemerintah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2021 tentang Nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Pada Saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022. Penerbitan kebijakan ini menuai protes di kalangan pelaku pariwisata, sehingga ketentuan tercabut dan diganti melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2021 tentang Nomor 62 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19 Pada Saat Natal Tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022.

Munculnya perubahan yang berganti-ganti, memunculkan pertanyaan ketidakkonsistenan tersebut sebagai bentuk “ambiguitas” (keraguan) pemerintah dalam melaksanakan kebijakannya. Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 nilai identitas, yaitu sebagai berikut:1) Kepastian
hukum (rechtmatigheid); 2) Keadilan (gerectigheit);
dan ke-3) kemanfaatan (zwech matigheid atau
doelmatigheid atau utility). (Peter Mahmud Marzuki 2008).

Baca juga:  Presiden Sampaikan Kemungkinan Penghentian PPKM

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis, tidak akan menimbulkan keraguan
karena adanya multitafsir sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kebijakan PPKM
dimaksudkan dalam rangka menumbuhkan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan.

Bilamana dimaknai demikian, penerapan PPKM dengan level-level yang ditentukan mestinya dibuat varibael yang terukur, dan jelas serta disosialisaikan kepada publik. Dengan demikian, akan tidak memunculkan asumsi-asumsi pada masyarakat, seolah-olah dianggap kurang serius atapun ragu-ragu dalam pengambilan kebijakan.

Penerapan PPKM merupakan pelaksanaan dari kebijakan pengaturan atau regulative
yaitu yang memperlakukan larangan terhadap
perilaku warga masyarakat atau kelompok agar
mematuhi protokol kesehatan, di antaranya tidak
berkerumun untuk banyak orang yang rentan
terpapar Covid. Penerapan terhadap kebijakan
tersebut, sangatlah baik sebagai bentuk antisipasi
tidak terjadi lonjakan kasus.

Berkenaan dengan keberlakukan PPKM yang berhubungan dengan perayaan Hari Raya Natal dan tahun Baru 2022, berdasarkan pada Intruksi Menteri dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Corona Virus Diseare 2019 pada saat Natal tahun 2021 dan Tahun Baru Tahun 2022. Ketentuan ini memiliki range waktu 24 Desember 2021 sampai 2 Januari 2022.

Baca juga:  Inmendagri Penghentian PPKM Diterbitkan, Bukan Selesainya Pandemi COVID-19

Keberlakuan ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah serangan Virus-19 gelombang ke tiga. Maksud dan tujuan pemerintah, serta merta tidak sepenuhnya mendapat persetujuan, masih terdapat secara individu dan kelompok-kelompok mempertanyakan yang tidak konsisten dan setiap saat berubah-ubah.

Dengan demikian, bila kita cermati terhadap penjelasan tersebut, menunjukan bahwa diksresi yang dilakukan oleh pemerintah, tidak melanggar ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Apalagi kehadiran Covid-19 yang demikian masifnya menyebar hampir seluruh negara-negara di dunia.

Keadaan ini tentu menjadi pembelajaran yang sangat berhara untuk kita semua. Tanpa menyalahkan siapapun, termasuk negara atau pemerintah yang memiliki tangguh jawab besar untuk kesejahteraan masyarakatnya.

Penulis, Sekretaris Prodi S-3 Hukum Universitas Warmadewa

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *