Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Bukti bahwa hospitality telah jamak dikenal dan dipraktikkan bangsa Indonesia adalah pada momentum liburan panjang akhir tahun (Natal dan Tahun Baru). Liburan memberikan kesegaran bagi anak-anak, keluarga, kalangan pekerja dan pelaku usaha.

Masa-masa liburan menjadi pemenuhan kebutuhan
psikis, psikologis atau kejiwaan. Pada saat bersamaan, menjadi saat yang indah dan berharga untuk memperbaiki dan memperkuat relasi antar anggota keluarga.

Salah satu media rekonsiliasi adalah dengan berwisata keluarga. Kerap dirasakan, masalah di dalam rumah terasa berputar-putar tak berujung.
Suasana rumah terasa tidak home selagi relasi batin tidak terpelihara, apalagi ketika ada masalah yang belum terpecahkan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 18 ayat 1 butir a disebutkan, setiap orang berhak memperoleh kesempatan memenuhi kebutuhan wisata. Pasal 3 menyatakan, kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Hospitality

Baca juga:  Ingin Liburan Berjalan Lancar? 9 Hal Ini Harus Disiapkan

Tanpa disadari keramahtamahan sebenarnya telah menjadi habit yang secara seksama dan bersama-sama dijalankan. Hospitality yang telah menjadi industri, berakar pada soal hati, pada tataran kepemilikan rasa untuk melayani orang lain.

Ada semacam standar yang tidak tertulis, bahwa aktivitas jasa, perdagangan dan setiap hal yang terkait interaksi dengan orang lain, dilakukan untuk saling menciptakan dan meningkatkan nilai lebih di kehidupan. Kesadaran akan nilai tersebut membutuhkan pembiasan terus menerus, dan tanpa mengurangi makna kesederhanaan perayaan Tahun Baru, penciptaan nilai lebih tersebut dilakukan bersama sebagai perayaan yang meriah.

Selama liburan Natal dan Tahun Baru, di pasar tradisional, di rumah makan, di jalanan, di tempat-tempat wisata dan di ruang publik lainnya, hospitality mengejawantah. Hospitality memang tidak sebatas keramahtamahan. Sebagaimana didefinisikan Philip Kotler, dkk (2003), ranah bisnis yang sarat dengan service ini salah satunya mencakup penyediaan makanan dan minuman.

Parasuraman (1988) dan Zeithaml, dkk (1996) menjelaskan lima dimensi kualitas jasa yang seluruhnya vital dalam hospitality. Pertama,
reliability, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan. Kedua, responsiveness, kesiapan dalam membantu
pelanggan dan memberi pelayanan yang cepat dan tanggap yang meliputi kesiapan dalam melayani pelanggan, kecepatan dalam menangani transaksi
dan penanganan pelanggan. Ketiga, assurance, pengetahuan terhadap produk secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberi pelayanan, ketrampilan memberikan informasi, dan sebagainya.

Baca juga:  Ini, Belasan Titik Jalan Rusak di Jembrana

Keempat, empathy, perhatian secara individu kepada
pelanggan seperti kemudahan untuk mendapat
jawaban atas pertanyaan, kemampuan berkomunikasi dengan pelanggan. Kelima, tangibles, penampilan fasilitas fisik, mencakup kebersihan, kerapihan dan kenyamanan, kelengkapan peralatan komunikasi, dan penampilan pelayan.

Lima dimensi kualitas jasa tersebut secara empiris semakin meningkat bobot penerapannya pada liburan Natal dan Tahun Baru. Secara nasional, kuliner semakin tumbuh sebagai industri rakyat yang ramah dan terbuka bagi siapa saja untuk menjadi pelaku usaha dan menggapai kesejahteraan di dalamnya. Industri kreatif juga terkait dengan pengembangan destinasi wisata, tidak hanya sebagai wisata kuliner,
tetapi memperkaya dan meningkatkan daya tarik
(attractiveness) destinasi suatu daerah.

Baca juga:  8 Tahun Tak Liburan, Menteri Jonan Pilih Bali

Kaitannya dengan pengembangan pasar tradisional, misalnya, kementerian pariwisata telah melakukan
sejumlah langkah untuk meningkatkan nilai jual pasar tradisional menjadi suatu siklus ekonomi selama sehari penuh. Pasar tradisional pada pagi hari sebagai pasar yang menyediakan kebutuhan pokok, siang sebagai destinasi wisata, dan malam sebagai wisata kuliner.

Dalam konteks tourism, kuliner adalah produk yang mudah dijajakan oleh warga untuk dapat terlibat sebagai produsen dalam mata rantai industri pariwisata (community-based tourism). Corak kepariwisataan berbasis masyarakat dapat dimaknai seperti ini: secara ekonomi ada uang yang mengalir ke kantong masyarakat secara langsung, secara sosial ada keguyuban dan kesaling-mengertian antarwarga bahwa setiap elemen memiliki peran yang penting, secara psikologis menumbuhkan martabat dan kebanggaan sebagai warga masyarakat.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *