Krama Desa Adat Banjarangkan menarikan Sanghyang Jaran. (BP/Istimewa)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Banjarangkan, Kecamatan Banjarangkan, masih melestarikan Tarian Sakral Sanghyang Jaran. Ini terlihat dari pelaksanaan Pujawali di Pura Puseh Sari Desa Adat Banjarangkan, pada Buda Umanis Medangsia, belum lama ini.

Serangkaian pujawali ini, desa adat setempat mementaskan Tarian Sakral Sanghyang Jaran, dengan tujuan untuk menetralisir alam, agar dijauhkan dari segala malapetaka, baik itu akibat dari cuaca ekstrem, maupun wabah penyakit. Tarian ini memiliki makna spiritualitas dan religiusitas yang tinggi, sebagai warisan pengempon Puseh Sari.

Pelaksanaannya dilengkapi dengan pelawatan Ida Batara berupa Kuda terbuat dari kayu, beserta atribut lainnya dengan tiga jenis warna sanghyang. Yakni Sanghyang berwarna Putih, Sanghyang berwarna Kuning, dan Sanghyang Berwarna Poleng (hitam putih).

Pementasan Sanghyang Jaran dilakukan melalui serangkaian proses ritual yang kompleks. Sebagai tari wali, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi untuk menetralisir alam yang sedang mengalami ketidakseimbangan. Ritual diawali dengan persembahyangan bersama yang dipimpin Pemangku Pemucuk Pura Puseh Sari.

Baca juga:  Mural Edukasi Kelola Sampah Hiasi Dinding TOSS Center

Setelah sembahyang berakhir, Sekaa Kidung Sanghyang akan duduk bersila tepat di depan bangunan Pelinggih Pengaruman. Di sana disiapkan pengasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi dengan bara api) di atas sebuah dulang.

Penglingsir kemudian memolesi tubuh penari dengan tapak dara yang telah disiapkan. Ketika bara api sudah dirasa siap, sekaa gending yang terdiri dari teruna teruni, mulai melantunkan nyanyian pemanggil roh sanghyang.

Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika mereka memulainya. Semakin lama tempo dan irama nyanyian itu semakin kencang, Sang Pemundut (penari) mulai kehilangan kesadaran dengan menggerakkan badannya layaknya seekor kuda.

Baca juga:  Sulinggih Tak Ditanggung BPJS, Bupati Suwirta Minta Disbudpora Proaktif

Semakin lama, tubuh penari semakin kehilangan kontrol untuk menuju ke api. Puncaknya, sang penari akan melompati dan menginjak-nginjak bara api yang telah disediakan di depannya.

Seketika penari mulai tak sadarkan diri nyeburin bara api dan jatuh di tengah arena pementasan. Bahkan, beberapa di antaranya berjalan di atas bara api yang telah berserakan di tanah.

Mereka tak merasakan panasnya bara api. Tak ada yang terluka, apalagi terbakar.

Sekaa gending kembali melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran napak pertiwi. Kekidungan yang digunakan menggunakan kekidungan khas yang hanya ada di Pura Puseh Sari.

Dari kidung atau nyanyian yang dilantunkan dapat ditafsirkan bahwa Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak meliang-liang atau melila cita, kemudian diakhiri dengan harapan semua senang, bahagia (pada girang).

Baca juga:  Bupati Suwirta Berusaha Anggarkan Perbaikan Pura Puncak Sari

Bendesa Adat Banjarangkan, A.A. Gede Dharma Putra, mengatakan pementasan Tari Sakral Sanghyang Jaran ini, menjadi momentum dan harapan baru bagi masyarakat Banjarangkan di tengah pandemi saat ini. “Tradisi ini menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat di Desa Banjarangkan ke depan agar lebih maju, makmur dan terlepas dari berbagai petaka,” katanya.

Menurutnya, perubahan musim yang ekstrim, dimana penyakit dan wabah akan menyelimuti bumi, tentu akan berdampak buruk bagi umat manusia. Maka, untuk mencegah penyebaran penyakit inilah, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi, dengan harapan dapat menyeimbangkan kembali alam setempat secara niskala. (Bagiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *