Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Beberapa waktu lalu, sejumlah media, dalam maupun luar negeri, sempat mewartakan bahwa Hillary Diane Rodham Clinton, mantan Ibu Negara Amerika Serikat (AS), telah menyelesaikan novel pertamanya berjudul “State of Terror”. Rencananya, novel bergenre thriller ini akan diluncurkan pada 12 Oktober 2021.

Dengan demikian, Hillary tampaknya bakal segera masuk ke jajaran politisi yang memiliki produk sastra. Dalam penulisan State of Terror, Hillary, yang juga mantan Menteri Luar Negeri AS semasa pemerintahan Barack Obama ini, berkolaborasi dengan Louis Penny, penulis spesialis novel misteri, asal Kanada.

Secara singkat, State of Terror mengisahkan seorang politisi yang diangkat sebagai menteri pemula yang bekerja untuk kabinet yang dipimpin oleh politisi pesaing sang menteri. Menteri itu dikisahkan sedang mencoba memecahkan gelombang serangan teroris. Hillary, sebagaimana dikutip koran Evening Standard, menyebut bahwa menulis novel thriller sebagai sebuah mimpi yang menjadi kenyataan.

Pertanyaannya kemudian adalah: apa pentingnya bagi seorang politisi menekuni sastra dan sekaligus terlibat langsung di dalamnya dengan cara menghasilkan produk sastra? Sastra mempunyai peran vital dalam ikut membangun dan memajukan suatu bangsa. Oleh sebab itu, para politisi sebaiknya mengakrabi sastra. Bahkan, jika mungkin, menulis karya sastra — entah itu puisi, cerpen, maupun novel.

Baca juga:  Usai Dilantik, DPRD Bali Wacanakan Gedung Baru

Di Barat, di mana tradisi baca-tulis masyarakatnya memang prima, tak sedikit politisi yang menghasilkan produk-produk sastra. Sebut di antaranya, misalnya, Winston Churcill, Mathew Lewis, Edwina Currie, Newt Gingrich, Benjamin Disraeli, Ann Widdecombe, Anne Holt, Paul Hasluck dan juga Boris Johnson. Produk-produk sastra yang dihasilkan oleh para politisi bukan hanya bakal memperkaya khazanah kesusastraan, tetapi juga memberi peluang bagi para politisi untuk membebaskan diri mereka sehingga mereka mampu lebih jujur kepada diri mereka sendiri dan juga kepada masyarakat.

Kita tahu, jagat politik penuh dengan kepentingan-kepentingan pragmatis, di mana untuk menggapai kepentingan-kepentingan pragmatis itu tak jarang para politisi terpaksa membual. Dalam karyanya bertajuk Think Why Politicians Have To Lie, Phillip Dorell (2006) menyatakan bahwa politisi itu cenderung membual. Menurut Phillip Dorell, ada dua alasan kenapa politisi memiliki kecenderungan untuk membual dan terus membual, kendatipun khalayak sendiri sudah mengetahui apa yang mereka bualkan. Pertama, politisi membual karena khalayak kerap menaruh harapan terlalu besar kepada mereka dan kedua, politisi sendiri perlu melakukan itu untuk menarik minat khalayak.

Sejatinya, politik sendiri adalah aktivitas mulia. “Politics is a noble activity,” begitu pernah dinyatakan Paus Fransiskus. Perjuangan politik menjadi penuh makna tatkala dilakukan secara bersih dan kekuasaan yang akhirnya didapat kemudian didedikasikan sepenuhnya untuk kebaikan bersama. Terkait sastra sendiri, kita tahu, saban tahun, penghargaan Nobel dianugerahkan kepada mereka yang dianggap memiliki kontribusi luar biasa bagi masyarakat dan kemanusiaan. Salah satu penghargaan yang diberikan oleh Panitia Nobel adalah penghargaan untuk bidang sastra.

Baca juga:  KGB Ada Riak, Gerindra dan PKPI Dekati Hanura - Nasdem

Diikutsertakannya bidang sastra dalam ajang pemberian penghargaan Nobel tentu saja menegaskan kepada kita semua bahwa sastra sama vitalnya dengan bidang-bidang kehidupan lainnya. Mengingat pentingnya sastra, di banyak negara, sastra dikenalkan dan diajarkan kepada anak-anak sekolah sejak dini secara sungguh-sungguh. Pusat-pusat dokumentasi sastra didirikan dan beragam kegiatan sastra diselenggarakan dengan sokongan dana pemerintah yang memadai. Profesi sastrawan mendapat tempat yang sama terhormatnya dengan profesi-profesi lainnya.

Melalui sastra, individu dididik untuk menjadi manusia seutuhnya, yang memiliki hati, perasaan dan pikiran. Dalam konteks ini, sastra menjadi semacam wahana untuk mengolah dan memperhalus hati, perasaan serta pikiran sehingga, meminjam istilah Putu Wijaya, mampu mempertebal rasa kemanusiaan kita.

Terkait dengan rasa kemanusiaan ini, sebuah penelitian tahun 2013, yang pernah dilaporkan oleh surat kabar The New York Times, menemukan bahwa setelah membaca karya-karya sastra, level empati, persepsi sosial dan kecerdasan emosional para responden penelitian lebih meningkat dibanding dengan para responden yang membaca karya-karya non-sastra. Menurut Francine Prose (2015), karya-karya fiksi sastra dapat memberi peluang bagi kita untuk melihat dunia melalui mata orang-orang yang tidak seperti diri kita sendiri dan sekaligus melihatnya dengan lebih berempati sehingga mendorong tumbuhnya masyarakat yang lebih manusiawi.

Baca juga:  Merdeka Belajar, Pedagogi Pembebasan

Boleh jadi, bagi para politisi, produk-produk sastra, seperti puisi, cerpen, maupun novel, yang notabene merupakan karya fiksi, bisa lebih memungkinkan mereka untuk mengungkapkan masalah-masalah tertentu secara lebih mendalam. Lewat produk-produk sastra, para politisi dapat membebaskan diri mereka dari batasan/kekangan akibat menyandang status sebagai politisi, yang faktanya, di mana pun, selalu lekat dengan pertarungan aneka kepentingan.

Dengan demikian, mereka bisa lebih leluasa mengeksplorasi serta mengapungkan masalah-masalah kompleks dan sensitif yang kemungkinan besar sulit dinyatakan lewat forum-forum formal maupun non-formal. Sudah barang tentu, kita akan senang apabila sejumlah politisi di negeri ini mampu pula menghasilkan produk-produk sastra, sebagaimana yang telah banyak dilakukan oleh politisi-politisi di Barat sana. Apalagi sampai ada politisi kita yang akhirnya mendapat anugerah Nobel berkat produk sastra yang ditulisnya. Wah, itu benar-benar “wow” dan luar biasa.

Penulis adalah Kolumnis dan Bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *