I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Mengutip “Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary” (University of Cologne), kata “Bhakti” berarti ‘pengabdian’ atau ‘bagian’. Dalam praktik Hinduisme, bhakti ditandai adanya suatu hubungan personal antara seseorang (umat) dengan Tuhan yang dipuja.

Menempuh jalan bhakti disebut bhakti marga, sementara orang yang menjalankan ajaran bhakti disebut bhakta. Bhakti sebenarnya menekankan pengabdian dan pelayanan (seva) daripada ritual (nyasa).

Namun bagi umat Hindu (Bali), yang namanya bhakti pengertiannya lebih terpusat pada aktivitas ritual yang lumrah disebut ngaturang bhakti, yaitu melaksanakan upacara yadnya, dengan mempersembahkan sarana upakaraning bebanten (sesaji), yang biasanya diakhiri acara persembahyangan alias mabhakti (sembah/muspa).

Aktivitas bhakti ini selain bersifat personal (individual) juga berkorelasi dengan hubungan kolegial (kekeluargaan) dan ikatan komunal (sosial kemasyarakatan). Sehingga ketika berlangsung kegiatan bhakti (upacara/upakara yadnya), tak terelakkan selalu menghadirkan kebersamaan, lalu mengarah pada keramaian dan berujung kerumunan.

Itu sudah menjadi pemandangan lumrah bahkan sah-sah saja sebagai umat yang masih berada di tingkatan “megama ramya” (beragama ramai). Itu dulu, kini ketika pandemi Covid-19, meski sudah di “somya” (dinetralisir), namun tak kunjung berhenti menebar virus mematikan, setidaknya hingga satu setengah tahun terakhir ini.

Baca juga:  Drona, Guru Besar Culas Miskin Hati

Mau tidak mau, melalui sedikit perenungan, ternyata kehadiran Covid-19 menyelipkan amanat bagi umat untuk kembali pada kesejatian beragama, yaitu “megama sunya”. Beragama di jalan sepi, mencari, dan lalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan sepenuh bhakti, kepasrahan Sang Jiwatman menemukan (kelak menyatukan) diri pada Sang Brahman (Brahman Atman Aikyam).

Bahwa Sang Brahman dan Atman hakikatnya adalah “sama” (tunggal). Atman dalam diri adalah Brahman — Tuhan juga. Ini yang kemudian dalam konteks teologi lokal Bali melahirkan konsep “Dewa di deweke”, bahwa Tuhan (Brahman) itu sebenarnya Ada dan Berada dalam diri.

Pandemi Covid-19 rupanya telah mengantarkan manusia, khususnya umat Hindu untuk kembali “mencari” Tuhan dalam diri, lebih bersifat personal (privasi), dalam suatu frame yang disebut “bhakti new normal”. Karena, dengan mengadopsi pandangan Piliang (2005), aktivitas ritual (yadnya) seperti yang selama ini berlangsung dalam koridor “megama ramya” cenderung tampak sebagai ruang dan waktu “pemanjaan hasrat”, terkesan menjauh dari kesempatan “penyucian jiwa”.

Baca juga:  Soal Penerapan "New Normal" di Pasar Tradisional, Wabup Artha Dipa Sarankan Ini

Melalui bhakti new normal, penekananya kepada “megama sunya”, bergerak secara personal (individual), meski tetap tidak lepas dari konteks kolegial dan komunal, namun dalam praktiknya lebih bersifat impresif dan mengarahkan pada sisi-sisi kontemplatif.

Bhakti pada era new normal, akan menggiring umat Hindu untuk tidak lagi mengedepankan imanensi ritualistik simbolik secara ekspresif yang adakalanya bersifat formalisme belaka, melainkan menstimulus ke arah penguatan transendensi spiritualisme. Implementasinya, secara lahiriah bisa saja bentuk bhaktinya masih bernuansa kolegial dan atau komunal, namun kebangkitan kesadaran personal (individual) menuju pendakian spiritual tetap menjadi kunci utama.

Dalam konteks aktivitas bhakti ritual misalnya, jika sebelum pandemi kegairahan umat Hindu melaksanakan dan mempersembahkan upakara yadnya seakan tak terbendung, dengan bebas merdeka berbondong-bondong merapat memadati area kegiatan upacara, tanpa kewajiban apapun yang berkaitan dengan prokes.

Baca juga:  Pembukaan Kawasan Publik Guna Menghidupkan Sektor Ekonomi

Tapi kini semua itu sudah berlalu, digantikan oleh suasana yang mengharuskan umat untuk mengadaptasi kebiasaan baru, diantaranya wajib menaati prokes 5 M; memakai masker yang baik dan benar, mencuci tangan dengan sabun pada air mengalir, selalu menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Bahkan, cara ngaturang bhakti saat Odalan di Pura misalnya, umat dapat dengan bijak memilih opsi melalui “jarak jauh” yang sebenarnya sejak zaman kuno dikenal dengan istilah “ngayat, ngayeng, ngacep ataupun ngubeng”. Ini bentuk bhakti era new normal bergaya “daring”, yang dipentingkan adalah konsentrasi umat tetap berada dalam jaringan frekuensi ataupun vibrasi Hyang Widhi.

Penulis, Dosen Universitas Hindu Indonesia dan Alumni Pascasarjana UHN IGB Sugriwa Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *