Ilustrasi. (BP/dok)

JAKARTA, BALIPOST.com – Lonjakan kasus COVID-19 dalam 10 hari terakhir terjadi karena sebaran varian baru virus Delta 1617.2 yang berasal dari India. Jenis ini memiliki mutasi atau penyebaran yang lebih cepat walaupun virulensi atau keganasannya relatif lebih rendah. Demikian dikemukakan Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane, dikutip dari Kantor Berita Antara, Kamis (17/6).

Ia mengatakan lonjakan COVID-19 bukan merupakan dampak dari mudik lebaran. Lonjakan justru terjadi karena kegagalan cegah-tangkal, yang berakibat masuknya varian India dan Afrika ke Indonesia. “Lonjakan ini harus disebut kebobolan karena banyak orang masuk ke Indonesia dari luar negeri dengan ketentuan karantina hanya lima hari. Padahal, seharusnya 14 hari berdasarkan ketentuan masa optimum inkubasi dan ini menjadi standar organisasi kesehatan dunia (WHO),” ujarnya.

Baca juga:  Piala AFC 2022, Bali Jadi Tuan Rumah Grup G

Masda juga menyebut bahwa lonjakan ini menunjukkan penularan lokal. Artinya, orang yang terkena COVID-19 ini sebagian besar tidak melakukan perjalanan luar negeri, namun terdampak varian baru. “Ini menandakan sudah ada penularan lokal, jadi ‘new emerging desease’ di Indonesia,” tegas Masda, sapaan akrabnya.

Ia menyarankan agar masyarakat menghentikan sementara aktivitas yang tidak perlu, guna menekan lonjakan kasus COVID-19 di Tanah Air. “Dalam situasi ini sebaiknya tidak boleh ada mobilitas lanjutan, terlebih di bulan depan umat Islam akan merayakan lebaran Idul Adha. Sebaiknya dilakukan pengetatan kembali untuk mencegah lonjakan lebih besar,” katanya.

Ia menegaskan bahwa varian inilah yang mendorong hampir empat provinsi di pulau Jawa kini menjadi zona merah kembali. Sementara itu, untuk wilayah Bali, tidak terjadi lonjakan, namun berdasarkan temuan terakhir pada orang meninggal akibat COVID-19, ternyata diakibatkan varian B.1.351 asal Afrika Selatan.

Baca juga:  Pemerintah Diminta Segera Terbitkan Revisi Perpres No. 10 Tahun 2021

“Bedanya, yang varian dari Afrika Selatan itu virulensi atau keganasannya tinggi, namun tidak menyebar cepat. Jadi sekali orang terkena varian Afrika dalam waktu tiga hari bisa langsung meninggal,” tegasnya.

Masda mengatakan banyak daerah di pulau Jawa kini menjadi episentrum, seperti di Kudus, Bandung, dan Jakarta. Meskipun tidak semua daerah dalam satu provinsi yang menunjukkan gejala. Data Satgas COVID-19 menunjukkan bahwa secara agregat DKI Jakarta mengalami kenaikan hingga mencapai 400 persen, Depok 305 persen, Bekasi 500 persen, Jawa Tengah 898 persen, dan Jawa Barat 104 persen.

Baca juga:  Koster Klaim APD, Rapid Test Kit dan Masker Masih Memadai

Masda mengapresiasi pemerintah melalui kepolisian telah berhasil menekan angka mobilitas penduduk selama masa lebaran Idul Fitri. Dari angka 35 juta penduduk yang biasanya mudik, hanya terdapat 1,5 juta orang mudik. Masda yang juga pegawai di Kementerian Kesehatan ini mengajak masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dengan menerapkan 3M. Terutama, menghindari kerumunan, baik dalam aktivitas sosial masyarakat biasa maupun kegiatan olahraga dalam waktu dekat ini.

“Dibutuhkan waktu kurang lebih satu bulan lamanya jika melihat masa inkubasi, sampai lonjakan ini dapat ditekan. Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah memastikan penerapan Keputusan Menkes No. 4641 tentang testing, tracing, isolasi, dan karantina secara lebih ketat lagi,” kata Masda. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *