Dr. Aqua Dwipayana. (BP/Istimewa)

BANDUNG, BALIPOST.com – Di tengah maraknya media digital yang kemudian melahirkan media sosial, industri jasa keuangan banyak yang memanfaatkannya sebagai media pemasaran. Iklan-iklan jasa keuangan berbasis teknologi (fintech) ini banyak menyasar masyarakat kelas menengah bawah dengan menggunakan berbagai aplikasi media sosial.

“Persoalannya, banyak pola pemasaran dalam iklan-iklan fintech dan industri jasa keuangan umumnya itu cenderung melanggar pedoman yang sudah ditetapkan. Harus ada kesadaran dari praktisi lembaga jasa keuangan untuk senantiasa mengedepankan etika. Di sinilah urgensi etika dalam beriklan,” hal itu disampaikan Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional Dr Aqua Dwipayana menjelang Sharing Komunikasi dan Motivasi pada Focus Group Discussion (FGD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Hotel Intercontinental Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/6) ini.

Topik yang disampaikannya adalah “Studi Kasus Pemasaran Produk Jasa Keuangan yang Misleading dari Perspektif Komunikasi”. Mantan wartawan di banyak media besar itu semula ingin menghadiri langsung acara tersebut di Bandung.

Namun niat tersebut tidak terpenuhi karena pada hari yang sama sudah banyak agendanya di Jakarta. Salah satunya pertemuan dengan Direktur Utama PTPN III Holding (Persero) Mohammad Abdul Ghani dan mantan Direktur Litbang PTPN IV Memed Wiramihardja. Akhirnya Dr Aqua memutuskan hadir secara daring lewat Zoom.

Baca juga:  Pemimpin Harus Jadi Teladan dan Mau Berkorban

Menurut anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) Pusat itu, harus dipahami bahwa pengiklan juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral terhadap konsumen dalam informasi yang disampaikan melalui periklanan. Setiap pengiklan seharusnya menjunjung tinggi etika dalam periklanan seperti menyajikan fakta atau kebenaran kepada konsumen.

Termasuk dalam sektor jasa keuangan baik perbankan maupun nonperbankan. Bisnis kepercayaan mutlak harus menegakkan kejujuran dan keterbukaan.

Sebagaimana Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011, OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang meliputi kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan lainnya.

Sedangkan tugas utama OJK adalah melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan bukan bank.

Seringkali Menyimpang

Dalam praktiknya, lembaga jasa keuangan, seperti halnya perusahaan komersial lainnya, pasti melakukan upaya pemasaran untuk menjaring konsumen baru dan mempertahankan konsumen. Maka kemudian, periklanan menjadi salah satu alternatif penting dalam memasarkan produk dan jasa keuangan lembaga tersebut.

Baca juga:  Bupati Tamba Minta Perbankan Berlakukan Relaksasi

Pada praktiknya, materi periklanan tersebut seringkali menyimpang dari regulasi yang telah ditetapkan termasuk oleh OJK sebagai lembaga yang mengatur dan mengawasi usaha jasa keuangan. Dalam paparannya, Dr Aqua memberikan pedoman dan etika beriklan yang tidak hanya selaras dengan regulasi OJK tapi jauh lebih penting adalah tetap menjaga kepentingan masyarakat.

“Di sinilah urgensi etika dalam beriklan. Harus dipahami bahwa pengiklan juga memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral terhadap konsumen dalam informasi yang disampaikan melalui periklanan. Setiap pengiklan seharusnya menjunjung tinggi etika dalam periklanan seperti menyajikan fakta atau kebenaran kepada konsumen. Termasuk dalam sektor jasa keuangan baik perbankan maupun nonperbankan. Bisnis kepercayaan mutlak harus menegakkan kejujuran dan keterbukaan,” ungkap Staf Ahli Ketua KONI Pusat Bidang Komunikasi Publik itu.

Aqua menyambut baik sudah terbitnya Pedoman Iklan Jasa Keuangan yang telah disusun oleh OJK dengan melibatkan unsur-unsur terkait. “Hal ini menjadi bentuk tanggung jawab besar OJK dalam menjalankan fungsi regulatif dan pengawasan. Intinya adalah bahwa kepentingan dan kemaslahatan masyarakat banyak harus selalu menjadi acuan kita. Jangan sampai karena tergiur iklan yang berlebihan, maka di kemudian hari muncul kerugian atau gugatan yang disebabkan oleh pemahaman yang salah,” ujarnya, dalam rilis yang diterima.

Baca juga:  Selama Pandemi Covid-19 Aturan Ketat di Lapas Kelas II Kerobokan

Ia juga menyinggung tentang semakin masifnya iklan-iklan jasa keuangan di ranah digital yang bertendensi melanggar aturan. OJK sendiri mencatat sebanyak 3.224 iklan yang melanggar ketentuan lembaga jasa keuangan periode Januari 2019 sampai September 2020.

Dilihat dari jenis pelanggarannya, 94 persen pelanggaran karena konten iklan tidak jelas. Lalu 5 persen dinilai memberikan informasi yang menyesatkan, dan 1 persen tidak akurat.

Sementara pelanggaran terjadi paling banyak di sektor perbankan, diikuti industri keuangan nonbank (IKNB), dan paling sedikit dari sektor pasar modal. “Hal ini harus menjadi perhatian kita semua. Bisnis dan industri media di zaman digital saat ini semakin berkembang cepat. Komunikasi yang semakin luas melalui digital dan media sosial, membuat perusahaan seperti periklanan maupun kehumasan semakin diminati. Akan tetapi, potensi terjadi pelanggaran juga cukup besar. Hal ini menjadi hal yang harus selalu kita waspadai,” ucap Dr Aqua. (kmb/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *