Sejumlah pedagang yang menempati rumah toko (ruko) di Pasar Banyuasri, Kecamatan Buleleng mengadu ke DPRD Buleleng Rabu (2/6). Mereka memprotes tarif pungutan tarif retribusi harian dan sewa bulanan. (BP/Mud)-

SINGARAJA, BALIPOST.com – Setelah mulai beroperasi, Pasar Banyuasri Kecamatan Buleleng masih saja menuai persoalan pelik. Buktinya, pedagang yang selama ini menempati rumah toko (ruko) keberatan dengan pungutan retribusi harian dan bulanan.

Besaran tarif retribusi ini dinilai terlalu mahal, apalagi di tengah kondisi pasar yang kian sepi akibat pandemi Virus Corona (Covid-19) belakangan ini. Pedagang ini lantas mengadukan masalah itu ke DPRD Buleleng Rabu (2/6).

Sejumlah pedagang dengan mengendarai kendaraan pribadi tiba di gedung dewan sekitar pukul 11.00 wita. Mereka kemudian diterima Ketua DPRD Gede Supriatna didampingi Sekretaris Dewan (Sekwan) Putu Dana dan Kabag Humas dan Perjalanan Made Supartawan.

Koordinator pedagang Gede Sugeng Darmawan menceritakan, tarif retribusi sebelum revitalisasi Pasar Banyuasri mengalami peningkatan hingga 700 persen. Dia mencontohkan, retribusi harian semula Rp 3.000 per hari setelah direvitalisasi tarifnya naik menjadi Rp 20.000 per hari.

Hal yang sama juga berlaku untuk tarif sewa tempat, di mana sebelum revitalisasi dipungut Rp 147.000 per bulan yang disesuaikan dengan ukuran ruko itu sendiri. Setelah revitalsiasi, tarifnya melonjak menjadi Rp 400.000 per bulan.

Baca juga:  Kerusakan Tak Kunjung Diperbaiki Pemerintah, Warga Bangun Dermaga Darurat

Jika kedua pungutan ini ditotal, maka dalam sebulan pedagang harus membayar Rp 1 juta. “Kami keberatan sekali dengan kenaikan tarif retribusi harian dan bulanan ini. Kalau seperti ini berarti nilai bangunan ruko yang kami tempati tidak dihitung,” katanya.

Menurut Sugeng, keberatan atas pungutan ini bukan tanpa dasar yang masuk akal. Pasalnya, sejak pasar direvitalisasi hingga resmi beroperasi, omzet pedagang khususnya yang menempati ruko terus merosot.

Bahkan, kondisi ini diperparah lagi dengan penurunan daya beli masyarakat karena imbas pandemi Covid-19. Tak pelak, pedagang mengalami penurunan omzet harian sebesar 80 persen dibandingkan sebelum pasar direvitalisasi.

Bahkan, dari 92 lokasi ruko, pedagang yang berjualan hanya 20 lokasi ruko yang buka. Sisanya, memilih tutup dan bahkan banyak pedagang yang telah menjual hak sewa ruka kepada pedagang baru.

“Pasar sekarang sepi, ditambah kenaikan tarif retribusi khususnya untuk ruko, kami sendiri bingung mau jualan apa. Agar kami bisa bertahan, tarif diturunkan, agar pasar yang terbangun ini bisa lebih ramai lagi, dan juga pasar lain tarif rettibusinya maish tarif lama, hanya di Banyuasri saja yang paling mahal,” katanya.

Baca juga:  Vaksinasi di Buleleng di Bulan Februari

Di sisi lain Sugeng yang menempati ruko No. 85 ini mempertanyakan keabsahan dari dasar hukum pungutan retribusi harian dan sewa tempat ruko Pasar Banyuasri. Satu sisi pada karcis retribusi harian dipungut berdasarkan keputusan Direksi Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Arga Nayottama Buleleng.

Di sisi lain pungutan ini berdasarkan amanat peraturan daerah (perda). Tak hanya itu, pedagang sendiri merasa terancam karena pihak direksi menyampaikan ancaman akan mencabut hak sewa pedagang kalau tidak membayar retibusi harian dan ssewa bulanan itu. “Kami pertanyakan yang mana absah ini ada SK direksi dan perda. Kami juga takut karena ada ancaman kalau tidak dilunasi hak kami menyewa ruko akan dicabut oleh direksi, sehingga kami meminta DPRD membantu mencarikan jalan keluar masalah ini,” jelasnya.

Menganggapi protes itu, Ketua DPRD Gede Supriatna mengaku prihatin dengan persoalan yang masih terjadi setelah Pasar Banyuasri resmi beroperasi. Atas persoalan ini, Supriatna berjanji akan menugaskan Komisi III untuk memanggil direksi Perumda Pasar Arga Nayottama Pasar Buleleng dan instansi terkait, sehingga secepatnya ada solusi untuk menuntaskan persoalan ini. “Untuk sementara kami belum bisa putuskan sekarang. Komisi III kami tugaskan untuk menangani persoalan ini, sehingga persoalan ini segera ada solusi sehingga tidak memicu polemik antara pemerintah dengan pedagang,” katanya.

Baca juga:  Kisruh Revitalisasi Pasar Umum Gianyar, Pemkab Tutup Celah Mediasi Bagi Pedagang Dan Desa Adat

Terkait seringnya persoalan yang muncul pasca pengoperasian pasar yang dijuluki The Spirit of Sobean ini, ketua dewan dua periode ini tidak menampik kalau pengelolaan belum optimal. Meski demikian, dirinya berharap persoalan apapun yang sekarang muncul agar dicarikan jalan keluarnya.

Sehingga, pengelolaan pasar ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur pasar dalam membangkitkan perekonomian daerah. “Bukan maksud menyalahkan, memang persoalan masih muncul di pasar itu. Kami minta pengelolaan lebih baik dan masalah yang terjadi ini harus ditangani dengan baik,” tegasnya. (Mudiarta/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *