Suasana FGD Tanggap COVID-19, Rabu (13/1). (BP/may)

DENPASAR, BALIPOST.com – Program vaksinasi COVID-19 secara resmi dimulai, Rabu (13/1) yang ditandai dengan penyuntikan vaksin kepada Presiden Joko Widodo. Vaksin Sinovac yang digunakan Indonesia dipastikan aman dan efektif.

Ahli Virologi dari Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika mengatakan hal itu saat FGD Tanggap Covid-19. Menurut Mahardika, vaksin adalah strategi farmaseutikal untuk keluar dari pandemi, dengan tujuan yang divaksin jika terpapar virus tidak sakit.

Dikatakan, vaksin layak diberikan kepada yang berhubungan dengan pasien, contohnya tenaga kesehatan (nakes). Tujuan kedua, mengurangi atau menurunkan kemampuan virus menular antarpenduduk di masyarakat. “Kondisi ini akan dicapai jika 70 persen penduduk kebal sehingga ketika ada orang membawa virus, mereka jadi kebal, tidak menularkan. Jadi, daya tular menurun drastis,” ujarnya.

Mahardika menegaskan, vaksin Sinovac ini aman. Vaksin ini adalah vaksin pandemi, karena situasi yang terjadi saat ini adalah pandemi, situasi yang memaksa.

Vaksin ini berbeda dengan vaksin biasa DPT, polio, tetanus dan sebagainya, sehingga diperlukan pengembangan vaksin yang cepat. Mahardika mengatakan, vaksin ini bisa cepat ditemukan karena teknologi sudah tersedia.

Baca juga:  Gubernur Pastikan Uji Coba Vaksin di Bali

Jika dulu perlu waktu lima tahun untuk mengembangkan bibit vaksin, sedangkan saat ini hanya membutuhkan waktu satu bulan. Vaksin yang diizinkan sudah harus melalui uji pra klinis. Pada fase pertama dengan relawan 30 orang, fase kedua sebanyak 300–400 orang relawan, dan fase ketiga minimum 3.000 relawan.

Syarat untuk bisa masuk ke fase berikutnya, kata dia, fase sebelumnya harus sudah menunjukkan data keamanan dan data efektivitas. Data ini tidak boleh dikompromikan. “Yang terjadi sekarang ini adalah proses izin dari satu fase ke fase yang sebelumnya sangat cepat. Bahkan, beberapa hari lalu BPOM mengeluarkan lisensi, sehari sebelumnya baru laporan masuk. Kalau dulu perlu waktu tiga bulan, baru ada putusan. Tapi ini karena pandemi, keputusannya dipercepat sehingga semua vaksin yang digunakan pasti aman dan efektif,” tegasnya.

Baca juga:  Buka OOC, Jokowi Baca Puisi Tentang Ini

Mahardika menambahkan, pada fase ketiga harus terus memonitor dampaknya kepada masyarakat. Jika berbahaya akan ditarik. Jadi, keamanan selalu menjadi kunci apakah vaksin tersebut akan terus digunakan atau tidak. “Vaksin yang paling bagus saat ini adalah vaksin yang bisa kita peroleh. Meskipun secara teoritis vaksin Amerika lebih bagus, tapi kita tidak bisa peroleh, maka yang terbaik adalah vaksin Sinovac ini,” katanya.

Menurut Mahardika, ada isu politik yang membalut vaksin ini dan dari kepentingan politik ini Indonesia memperoleh vaksin. Artinya, peran Indonesia sangat penting dalam konstelasi tingkat internasional. “Mereka semua ingin membantu Indonesia, sehingga politik vaksin tidak dapat dipungkiri, ada,” tegasnya.

Mahardika memaparkan, ada 18 juta dosis vaksin di Indonesia per hari ini. Setiap orang perlu dua kali booster vaksin. Secara internasional, vaksin juga merupakan barang langka.

Dunia membutuhkan 12 miliar dosis vaksin. Sementara kemampuan seluruh pabrik di dunia per tahun hanya 1 miliar dosis atau setengah miliar vaksin. “Tidak bisa mencapai 12 miliar dosis dalam waktu 1 tahun. Vaksinasi di negara ini baru bisa berjalan sedikit demi sedikit, sampai 70 persen penduduk ini divaksin, barulah kita bisa menyatakan bebas dari pandemi,” ungkapnya.

Baca juga:  Galian C Gelumpang-Pinda Ditutup, Pemilik Diminta Perbaiki Drainase

Pengamat Sosial Nyoman Mardika mengatakan, dalam berproses menghadapi pandemi ini pengaruh media sosial terhadap informasi yang berkembang di masyarakat sangat besar, termasuk tentang vaksin. Menurutnya, media sosial membuat pemerintah tidak bisa maksimal melakukan komunikasi politik dan kesehatan.

Misalnya, tiba-tiba vaksin di Indonesia langsung diedarkan ke seluruh Indonesia sementara izin BPOM belum ada. Berita ini menurutnya membuat kegalauan publik di Indonesia, apalagi Jawa dan Bali menjadi prioritas.

Akhirnya, wacana-wacana di media sosial ini mempengaruhi kondisi masyarakat. Sementara kontra narasi tidak muncul dari pembuat kebijakan. “Membangun komunikasi politik yang lebih luas tidak bisa dilakukan hanya oleh satu orang, perlu banyak pihak yang terlibat memberikan penjelasan dan edukasi kepada masyarakat,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *