I Wayan Artika. (BP/Istimewa)

Oleh Dr. I Wayan Artika

Menteri Nadiem Makarim tampil dengan gagasan ‘’membongkar’’ sendi-sendi pendidikan yang telah mapan. Hal itu dinilai sudah tidak relevan.

Yang membedakan Pak Nadiem dengan para menteri sebelumnya adalah prinsip perubahan radikal dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Deretan menteri terdahulu hanya mampu melakukan perbaikan parsial dan tambal sulam.

Nadiem mengambil konteks Revolusi 4.0. Paradigma revolusi ini dipandang sebagai keniscayaan dalam bidang pendidikan. Ditegaskan bahwa ini adalah momen global bagi perubahan secara revolusioner. Meski demikian, kebijakannya diterima secara apriori oleh masyarakat. Sepak terjang Nadiem dipandang sebatas kebijakan biasa, seorang menteri baru yang sedang meraih popularitas.

Pendidikan nasional dibangun untuk memperkukuh nasionalisme dan seiring bertambahnya usia negara, digunakan untuk melakukan pewarisan nilai dan semangat kebangsaan. Hal ini tampak dalam berbagai kebijakan atau terbitnya undang-undang dan berbagai peraturan surat-surat resmi, yang harus dijalankan di seluruh Indonesia. Di atas fondasi nasionalisme dan Pancasila, pendidikan negara juga menyediakan muatan-muatan pragmatis. Di sekolah-sekolah, siswa tidak hanya belajar sejarah, agama, kewarganegaraan, nilai-nilai Pancasila, tetapi juga belajar bahasa asing untuk bekerja, belajar komputer, kedokteran, teknik, keuangan, perdagangan, kerajinan, seni, dan lain-lain.

Baca juga:  Kampus Merdeka Tantangan Bagi Dosen

Pendidikan untuk mendapat kerja adalah prinsip yang paling nyata dan sebagai keniscayaan terbesar dalam pandangan masyarakat. Kurikulum sekolah dan universitas di seluruh dunia diubah untuk sejalan dengan kebutuhan industri. Pendidikan tidak lagi mampu memberi sumbangan bagi perubahan masyarakat atau perjuangan manusia untuk melawan keadaan yang antimoral dan antihumanisme. Untuk apa pendidikan? Hal ini dikaitkan dengan uraian Einstein dalam surat pendek tahun 1938. Einstein memang tidak berbicara apa manfaat sekolah bagi manusia tetapi berbicara soal apa sumbangan ilmu. Karena ilmu dipelajari di sekolah dan universitas maka kritik Einstein terhadap ilmu sama saja dengan kritik filosofis secara tidak langsung terhadap pendidikan.

Pandangan inilah yang menjadi kebenaran dalam dunia pendidikan saat ini. Visi dan misi nilai-nilai ideal menyangkut toleransi, nasionalisme, kemanusiaan, moral, religius, lingkungan hidup, multikulturalisme, hanya digunakan untuk menutupi misi terselubung pendidikan, yakni pekerjaan dan kesejahteraan. Atau penghambaan kepada kapitalisme, bukan perjuangan untuk melawannya. Pendidikan yang demikian, masih tidak jauh bergeser dari indikasi-indikasi Pedagogi Hitam-nya Paulo Fraire. Pendidikan negara sebagai agen politik yang kuat untuk membuat ‘’patuh’’ yang berderit bagai roda di atas rel besi panas administrasi dan birokrasi, belasan tahun bekerja sampai tanpa disadari para siswa dan bahkan guru-guru terampas kemerdekaannya.

Baca juga:  Protokol Penanganan Wabah Dalam Lontar-lontar Bali

Janganlah bicara kemerdekaan guru karena mereka bukan agen-agen yang merdeka. Siswa adalah produk imbas guru yang terbelenggu yang dididik dengan tujuan untuk membelenggunya kembali. Hal inilah yang dihadapi oleh Pak Nadiem. Beliau ingin membongkar belenggu-belenggu birokrasi administrasi pendidikan Indonesia. Merdeka Belajar memang diarahkan untuk siswa agar terjadi pergeseran yang signifikan, dari siswa sebagai objek menuju posisi subjek belajar. Namun, Merdeka Belajar juga untuk guru-guru dan kepala sekolah. Pak Menteri Nadiem Makarim menuntut sikap merdeka belajar bagi guru karena dengan sikap inilah siswa akan mengalamai Merdeka Belajar.

Kebijakan Merdeka Belajar bergeming di tangan para guru yang terbelenggu adminitrasi dan birokrasi. Guru tidak berani berekspresi lebih bebas dalam mengajar. Karena itu, guru berperan sebagai pelisan materi. Dalam peran sebagai pelisan materi yang sudah ada di buku, guru tidak berkontribusi pengembangan bahan, contoh atau kasus, muatan lokal, sastra, dan lain-lain ketika mengajar. Dari segi ini, guru sebenarnya ‘’sudah mati’’. Apa arti seorang guru jika hanya membeokan materi-materi yang ada dalam buku-buku pelajaran? Perjuangan, etos kerja, kompetensi, ekspresi seorang guru tampak dari desain materi dan metode pengajarannya.

Baca juga:  Gojek Sinergi dengan Unud, Kerjasama Wujudkan Merdeka Belajar

Di atas kondisi itulah, Pak Menteri telah memancangkan tiang Merdeka Belajar. Memang tidak cukup sehingga tiang pancang Merdeka Belajar itu masih membutuhkan sumber daya manusia yang khusus disiapkan, yakni Guru Penggerak. Guru Penggerak ini sebagaimana disampaikan oleh Pak Menteri kepada Andy F. Noya di MetroTV, sebagai leadership pendidikan di masa depan, yang selama ini adalah kepala sekolah dan para pengawas.

Penulis, dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *