Dewa Putu Alit Parwita. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Putu Alit Parwita

Wisata medis (medical tourism) menjadi impian dari banyak warga dunia pada saat melakukan perjalanan atau liburan. Berlibur sekaligus mencari pelayanan kesehatan di negara-negara dengan sistem pelayanan kesehatan yang baik sesuai dengan harapan dan keinginannya, sehingga memberikan pengalaman yang mengesankan untuk diberitakan di negaranya.

Bali dengan segala keterkenalannya yang tak terbantahkan di industri pariwisata  dunia, menjadi ceruk pasar wisata medis yang sangat menjanjikan bagi wisatawan mancanegara kalau dikelola dengan baik

Laporan Bank Dunia ada 1% masyarakat Indonesia berobat ke Malaysia, sedangkan 2% ke Singapura. Devisa kita yang hilang itu sekitar Rp 100 triliun setiap tahunnya (ekonomi.bisnis.com, 3 Juli 2018). Indonesia sampai saat ini masih ketinggalan dari negara-negara di Asia bahkan Asia Tenggara dalam mengelola peluang wisata medis ini. Di tingkat Asia, lima negara tujuan wisata medis yang paling terkenal adalah Thailand, India, Singapura, Korea Selatan dan Malaysia.

Menurut Kumaran Subbraman dari ResearchGate.net/publication dalam publikasinya Health Tourism in Asia, November 2020 yang juga banyak mempublikasikan hasil riset tentang wisata medis mengatakan bahwa industri perawatan kesehatan global bernilai US$2,8 triliun. Pasar untuk pariwisata kesehatan diperkirakan mencapai US$67 miliar, tumbuh dengan kecepatan 20% per tahun.

Baca juga:  Rasionalisasi Kenaikan Gaji ASN?

Ada tiga segmen pasar wisata kesehatan, pertama; pembedahan seperti bedah ortopedi, bedah jantung by-pass, pengobatan kanker, bedah mata dan transpaltasi organ, kedua; bedah plastik/kosmetik dan ketiga; spa, pusat-pusat penurunan berat badan, termasuk meditasi ,yoga, herbal dan pengobatan trasisional (wellness therapy).

Ketiga segmen itu dikuasai oleh kelima negara Asia tersebut. Lantas di mana posisi Indonesia khususnya Bali? Data BPS tahun 2019 menunjukkan rerata pengeluaran per kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia berkisar US$1.220,18. Dari pengelompokan ke dalam enam jenis pengeluaran utama (akomodasi, makanan dan minuman, belanja, transpor, paket tur) tidak kelihatan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.

Menurut Wakil Gubernur Bali Cok Ace, pariwisata kesehatan sebenarnya merupakan bentuk tren pariwisata yang menggabungkan aspek kesehatan dan hiburan. Bali memang memiliki potensi luar biasa sebagai destinasi pariwisata kesehatan global, terutama dari segi wellness. Terdapat sekitar 3.200 wellness centre di Bali seperti pusat pengobatan herbal tradisional dan spa (Bali Post, 21 November 2020). Peluang luar biasa besar yang sayang kalau tidak dimanfaatkan dengan baik.

Lembaga Khusus

Diskursus mengenai pengembangan wisata medis di Indonesia sudah muncul sejak 2015 dengan terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2015 tentang Pelayanan Wisata Medis. Peraturan ini lebih menitikberatkan bagaimana kesiapan fasilitas kesehatan khususnya rumah sakit mempersiapkan diri supaya pelayanan wisatawan yang membutuhkan pelayanan rumah sakit benar-benar sudah siap, baik dari aspek infrastruktur dan sumber daya manusianya.

Baca juga:  Pelajaran Bahasa Bali, Menggali Kuburan Kata

Namun sampai saat ini belum kelihatan rumah sakit baik pemerintah maupun swasta yang bisa menjadi model pelayanan wisata medis yang dikenal di mancanegara. Walaupun beberapa rumah sakit ada pasien asingnya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (belum ada datanya di laman BPS), tetapi seolah-olah berjalan sendiri-sendiri, tidak terorganisir dalam suatu wadah yang bisa menjadi posisi tawar dengan agen-agen wisata medis yang ada di negara lain.

Frederick J. DeMicco, seorang professor di bidang hospitality and healthcare management, memperkenalkan konsep Hospitality Bridging Healthcare (H2H). Keterpaduan yang harmonis antara hospitality dan pelayanan kesehatan menjadi poin kritis untuk kesuksesan wisata medis karena hampir 75% pasien mendapatkan pengalaman memuaskan dalam pelayanan kesehatan karena faktor hospitality (keramahtamahan dalam melayani) yang menjadi unsur utama pada pelayanan hotel.

Poinnya adalah bagaimana ‘’pelayanan hotel’’ bisa diterapkan di rumah sakit yang terkesan kaku karena prosedur medis yang demikian kompleks. Belajar dari kesuksesan negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Singapura yang begitu jumawa di seantero dunia di bidang wisata medis, Indonesia khususnya Bali harus banyak belajar secara serius dan terpola dengan negara tetangga tersebut.

Baca juga:  Membumikan Disiplin Positif

Malaysia dengan Malaysia Healthcare Tourism Council (MHTC) sangat efektif mempromosikan dan memfasilitasi industri pariwisata dan pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit, klinik, spa, dan pengobatan tradisional lainnya dalam suatu wadah yang kolaboratif. MHTC berada di bawah naungan Kementerian Kesehatan Malaysia dan didukung oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Pariwisata dan Organisasi atau Asosiasi Perumahsakitan.

Demikian juga Thailand dengan Tourism Authority of Thailand, sebuah website wisata medis yang sangat gencar mempromosikan destinasi wisata medis Thailand dalam bentuk tawaran paket-paket wisata yang dipadukan dengan pelayanan medis, mulai dari medical check-up, pelayanan bedah plastik dan lain-lain, lengkap dengan profil rumah sakit dengan reputasi tinggi yang tersebar di beberapa kota. Terbentuknya wadah atau lembaga seperti inilah yang urgen untuk diwujudkan kalau ingin wisata medis dapat segera berkiprah berdampingan dengan negara-negara tetangga.

Penulis, Plt. Direktur RSUD Wangaya/Wakil Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *