Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Maestro Asta Kosala Kosali Nyoman Gelebet berpulang (Bali Post, 4/11). Sebuah kehilangan besar bagi dunia arsitektur Indonesia pada umumnya dan arsitektur Bali pada khususnya.

Kepergian Prof. Ir. Nyoman Gelebet, M.Si. menyisakan rasa gundah bagi upaya melestarikan kearifan arsitektur tradisional Bali di tengah serbuan arsitektur modern. Asta Kosala Kosali merupakan salah satu local wisdom arsitektur tradisional Bali dalam menata ruang dan bangunan hunian/kegiatan krama Bali dengan menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya agar seirama dengan manusia penghuni/pelakunya. Dalam istilah populernya, bisa dikatakan bahwa Asta Kosala Kosali itu bagai Feng Shui-nya krama Bali.

Walakin, pandemi Covid-19 seakan semakin menegaskan local wisdom arsitektur Bali. Arsitektur Bali yang lebih didominasi oleh tatanan ruang luar dengan pola gubahan massa atas bangunan yang ada, merupakan wujud kearifan para leluhur krama Bali dalam menanggapi alam dan lingkungan kehidupan kesehariannya. Pertukaran udara segar dalam tata bangunan arsitektur tradisional Bali tersebut terbukti dapat ikut meredam penyebaran Covid-19.

Nyoman Gelebet sendiri dikenal sebagai maestro Asta Kosala Kosali yang memiliki integritas dan idealisme di bidang arsitektur Bali, serta merupakan tokoh yang patut diteladani mengingat perhatiannya yang cukup besar dalam pembangunan alam dan manusia Bali. Berbagai kritik ‘’pedas’’ tentang pembangunan yang dianggapnya menyimpang dari kaidah arsitektur Bali, merupakan wujud integritasnya dalam menjaga alam dan manusia Bali.

Baca juga:  ISPA dan Promosi Kesehatan Berbasis Sosial Media

Seperti halnya saat kehadiran Kantor Pemasaran Garuda dan Pertamina di Jalan Sugianyar Denpasar. Gelebet menyayangkan kehadiran bangunan modern di lingkungan Lapangan Puputan Badung, dengan mengabaikan arsitektur Bali sesuai konteks lingkungan serta keberadaan Pura Jagadnatha dan Museum Bali. Padahal perusahaan sekelas Garuda dan Pertamina memiliki kemampuan finansial untuk membuat bangunan berarsitektur Bali.

Gelebet juga merasa teramat prihatin ketika kawasan setra di Sesetan dan di Jalan Gunung Agung Denpasar berubah menjadi kawasan pameran dagang. Setra sengaja memiliki lahan yang luas karena kebutuhan prosesi penguburan dan pembakaran mayat. Keprihatinan juga dirasakannya ketika angkul-angkul mulai menghilang dan telajakan berubah menjadi trotoar.

Kota Denpasar memang dapat dijadikan contoh sebagai sebuah kota pusaka yang dipenuhi kawasan parahyangan yang tumbuh dan berkembang sejak didirikan oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan yang memimpin Kerajaan Badung dari tahtanya di Puri Denpasar pada tahun 1788. Berbagai jejak sejarah parahyangan telah tertoreh di segenap penjuru Kota Pusaka Denpasar. Berwujud Tangible Heritage maupun Intangible Heritage.

Arsitektur Alam

Tata ruang kota/wilayah dalam mitologi agama Hindu selalu terwujud adanya kawasan parahyangan, pawongan, dan palemahan. Dalam bingkai filosofi Tri Hita Karana, yaitu konsep yang mengatur keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan lingkungan kehidupannya. Serta tersusun dalam susunan jasad/angga, yang kemudian memberikan turunan tata nilai ruang secara vertikal yang disebut Tri Angga dan secara horizontal disebut tatanan Tri Mandala.

Baca juga:  Pariwisata sebagai Obat Kesehatan Jiwa

Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, dengan lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta (bhuana agung), pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu Bhur Loka (bumi/alam bawah), Bhuah Loka (angkasa/alam tengah) dan Swah Loka (surga/alam atas).

Dalam skala wilayah, gunung memiliki nilai utama, dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Sementara dalam skala permukiman, Kahyangan Tiga (yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem; sebagai tempat pemujaan bagi seluruh krama desa) memiliki nilai utama. Sedangkan perumahan penduduk memiliki nilai madya, dan kuburan/setra mengandung nilai nista.

Jelas sekali bahwa arsitektur Bali lebih merupakan tatanan ruang dan bangunan yang berorientasi pada upaya menata keseimbangan kehidupan manusia dengan lingkungan alam kehidupan kesehariannya, sehingga lebih banyak didominasi oleh tatanan ruang luar. Karakter arsitektur Bali ini menjadi lebih sering berbenturan dengan kaidah arsitektur modern yang lebih banyak berorientasi pada lingkungan ruang dan bangunan non-alami.

Jejak sejarah arsitektur Bali yang ada di kota maupun perdesaan Bali merupakan kawasan tradisi local wisdom krama Bali dengan potensi ekonomi yang harus tetap kita lestarikan melalui tindakan konservasi fisik ataupun sosial yang bersifat komprehensif. Merawat kawasan arsitektur tradisional Bali sekaligus merupakan upaya konservasi local wisdom Bali secara komprehensif.

Baca juga:  Gedung MDA Provinsi Dibangun Berlantai Tiga dan Berarsitektur Bali

Ada langkah-langkah yang dapat dilakukan, agar apa yang menjadi keprihatinan Gelebet atas arsitektur Bali tidak terulang lagi. Pertama, harus dilakukan identifikasi atas kawasan arsitektur tradisional Bali yang memiliki potensi sebagai jejak sejarah local wisdom arsitektur Bali, guna dilestarikan sebagai tangible heritage maupun intangible heritage.

Kedua, harus disusun Historic Guide Map tentang asitektur tradisional Bali dengan disertai informasi lengkap tentang sejarah dan nilai-nilai arsitektur yang dikandungnya, sebagai bahan pembelajaran bagi generasi mendatang. Sekaligus juga perlu disertakan tentang model organisasi dan manajemen pengelolaan kawasan arsitektur tradisional Bali tersebut.

Ketiga, aktualisasi atas nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam arsitektur Bali. Sehingga pada gilirannya arsitektur Bali dapat tetap dilestarikan secara kontekstual sesuai kondisi masa kini, namun tetap dalam aura nilai-nilai filosofi dan kaidah yang terkandung dalam arsitektur Bali sebagai local wisdom krama Bali.

Marwah keagungan dan kesucian yang terkandung dalam arsitektur Bali harus dapat terus dijaga dan selalu diimplementasikan dalam bangunan Bali sesuai konteks dan fungsi masa kini. Arsitektur Bali sebagai warisan local wisdom nenek moyang krama Bali harus dapat memberikan nilai kesejahteraan dan ekonomi bagi krama Bali masa kini dan masa mendatang.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *