Supartha Djelantik. (BP/Istimewa)

Oleh Supartha Djelantik

Polisi berhasil menangkap Joko Tjandra (JT), buronan kelas kakap, terpidana kasus pengalihan hak tagih cessie Bank Bali, satu dari sekian banyak buronan kasus korupsi yang melarikan diri. Penangkapan ini agar TJ dapat menjalani proses hukum sesuai dengan UU yang berlaku.

Penangkapan ini memiliki arti strategis: (a) agar yang bersangkutan kooperatif membuka tabir penegak hukum yang terlibat selama masa pelariannya, (b) menjadi pembelajaran bagi buron lainnya, (c) meningkatkan kredibilitas dan integritas hukum, bahwa dalam due process of law mengedepankan prisnsip perlakuan yang fair, adil dan manusiawi, (d) sebagai langkah awal memperbaiki sistem penegakan hukum secara menyeluruh.

Keberhasilan penangkapan yang dilakukan Polri, akan menjadi pembelajaran dan berdampak positif bagi semua pihak dalam berpikir, berbicara, dan berbuat sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Dalam kehidupan bernegara ada ajaran atau fiksi hukum yang menyatakan semua orang dianggap tahu hukum, tidak terkecuali mereka yang melakukan tindak pidana atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Siapa pun mereka kalau melakukan perbuatan hukum harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam hal mendapatkan ketidakadilan dalam lalu lintas hukum, mereka wajib mengikuti proses hukum, hanya hakim yang dapat menyatakan seseorang bersalah, menjatuhkan hukuman sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum yang dilakukan.

Dalam hal terdapat rasa ketidakadilan yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum, sampai mendapat putusan hakim yang mengikat, yaitu putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap. Tidak ada alasan hukum bagi mereka untuk menyatakan putusan hakim tidak adil, satu-satunya jalan adalah menjalani hukuman yang dijatuhkan, kecuali di kemudian hari terdapat alasan yang dibenarkan oleh hukum yaitu diketemukan alat bukti baru (novum) sebagai alasan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Pelarian, dengan alasan mendapat ketidakadilan sebagaimana dinyatakan, adalah kekeliruan yang merugikan bagi yang bersangkutan.

Baca juga:  Urgensi ”Green Management” Sektor Pariwisata

Ada kekuatan besar yang mendukung di belakangnya, uang, pejabat tinggi atau apa? Seorang JT adalah pengusaha besar yang memiliki grup/jaringan usaha besar di lingkungan pemerintahan maupun swasta yang berbasis di dalam negeri dan luar negeri yang memiliki pengaruh kuat di bidang politik, ekonomi-keuangan, hukum dan keamanan untuk mencapai tujuan di dalam suatu negara.

Mereka memiliki peta konsentrasi kekuatan politik ekonomi sosial budaya suatu negara tujuan, melakukan pengamatan secara seksama tentang strategi yang akan digunakan untuk menundukkan atau pencapaian tujuan. Hal tersebut dibuktikan dengan kemunculannya setelah menghilang selama sebelas tahun, para penegak hukum sampai saat ini tidak mampu mendeteksi atau mengurai bagaimana cara kehadirannya dilakukan, dengan siapa dan bagaimana kontak-kontak tersebut bekerja.

Kehadiran JT di tengah Covid-19 patut diduga memiliki agenda strategis di balik menghadiri sidang-sidang PK yang diajukannya di PN Jakarta Selatan. Kepentingan tersebut bukan saja bagi kepentingan dirinya sendiri bisa jadi mereka sudah membangun kolaborasi dengan para koruptor yang kini bersembunyi di luar negeri. Dalam situasi kegentingan pandemik ini, kepentingan strategis memiliki kepentingan strategis di balik pelariannya. Karena faktor uang menjadi taruhan, sehingga pangkat bukan lagi ukuran. Jenderal hanya galak di hadapan anak buah, selebihnya uang berkuasa. Bintang yang diraih dengan susah payah, tidak menjadi kebanggaan atau integritas seorang jenderal, uanglah yang menjadi jenderal yang sebenarnya. Tiga jenderal polisi terperosok ke dalam lubang yang sama, sama-sama menjadi pecundang. Kegagahan dan harga diri bukan lagi berada di pundaknya, tetapi berpindah berapa gebok uang yang ada di tangan.

Baca juga:  Pariwisata Indonesia Masih Lemah

Kewarganegaraan bukan lagi penting, dia bisa tinggal di mana saja, di Indonesia jadi buron, di negara lain dijamu, sungguh ironis dunia telah berubah menjadi kapitalis. Merampok, korupsi atau maling di negeri orang lain, bukan kejahatan sepanjang duitnya diinves di negara mana dia ditampung. Hukum tidak lagi mengikat di luar yurisdiksi, perlakuan bisa beda dari satu negara ke negara lain.

Ratifikasi dan Red-Notice merupakan dua hal yang saling terkait. Sama di depan hukum, kejahatan memilih korbannya sendiri, yang lemah dan lengah itu sasaran empuk. Tidak peduli mau haram atau tidak yang penting WNA nyatanya masih ngurus KTP dan paspor, ini benar-benar aneh dan ajaib.

Alat deteksi diri penegak hukum lumpuh diganjal duit, sehingga sistem yang seharusnya memberi peringatan ternyata sekadar angin-lalu penjahat lalu-lalang tidak terdeteksi oleh sistem penegak hukum, walau mereka tahu ternyata diam tidak bertindak? Ratusan juta pasang mata rakyat kecapaian memandang onggokan barang yang tidak bertuan. Karena ancaman Corona yang tidak diketahui kapan berakhirnya, dan kini terhipnotis kehebatan dan kekuatan jaringan sang koruptor, yang luar biasa dan harus dibongkar sampai ke akar-akarnya.

Integritas Hukum

Hukum berlaku bagi semua orang dan bahwa hukum tidak membiarkan dirinya hanya untuk menguntungkan sejumlah pihak tanpa alasan yang sah menurut hukum. Jika ada pengecualian maka hal tersebut mengkhianati konsep megara hukum yang memuliakan manusia (human dignity).

Pelarian para koruptor ke luar negeri adalah kenyataan buruk penegakan hukum yang konspiratif. Dalam kasus JT aparat penegak hukum dengan terang menyalahi etika profesi dan norma hukum yang berlaku, artinya terhadap kejahatan tidak boleh ada pengecualian hak, terutama atas hak yang dibutuhkan bagi eksistensi manusia untuk hidup lebih baik atau lebih martabat. Pembiaran berlangsungnya kejahatan adalah bentuk diskriminasi hukum, dan merupakan pelanggaran HAM.

Baca juga:  Sulinggih Itu Bernilai ‘’Padma’’

Dalam upaya penegakan hukum tidak terlepas dari integrasi substansi, struktur dan budaya hukum yang masing-masing harus bekerja dalam kesatuan sistem yang didukung penegak yang berkualitas dan berintegritas. Sistem hukum tidak hanya dipahami sebagai teks dalam undang-undang, tetapi dipahami sebagai sistem hukum terpadu (integrated legal system).

Sehingga tindakan negatif seperti melacurkan profesi untuk meraup keuntungan materi yang jauh dari tujuan mulia yang diembannya (officium nobile) dapat dihindari, posisi hukum sebagai penjamin hak-hak masyarakat dan kepentingan negara sebagai simbol penjaga kesamaan kedudukan masyarakat di hadapan hukum menjadi nyata di depan masyarakat.

Sistem penegakan hukum kita dalam kondisi sakit parah. Praktik-praktik tidak sehat dan melanggar hukum ditunjukkan secara terbuka, seolah-olah mereka kebal terhadap hukum. Penegak hukum dengan sadar diperalat melakukan pengawalan, melindungi, dan menghalangi penegakan hukum. Perilaku pengabaian dan pembangkangan penegakan hukum, merupakan pelanggaran etika dan hukum yang berlaku.

Mereka merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan penegak hukum dan negara yang dikenal sebagai contempt of court (CoC) dan obstruction of justice tidak bisa dianggap sepele, sekalipun aturan mengenai contempt of court dan obstruction of justice telah diatur dalam KUHP dan secara spesifik dalam UU Tipikor. Bila mungkin budaya hukum masyarakat lokal yang bersifat khas seperti di Bali ada ‘’budaya hukum malu berperilaku buruk’’ perlu ditampilkan, sebagai sumbangsih kearifan lokal masyarakat adat yang bersumber dari nilai-nilai adat istiadat dan budaya Bali. Due process of law menjadi efektif dan realitis, keadilan substantif menjadi faktum dan semua dalam posisi seimbang.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *