Sejumlah orangtua siswa mengadu ke Ombudsman soal pelaksanaan PPDB SMP di Denpasar. (BP/dok)

Oleh Ganes Deatama Musyafi’

Hiruk pikuk zonasi nampaknya sudah mulai surut. Meski demikian,masih ada kekecewaan di sana-sini terutama dari orangtua yang putra-putrinya tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Dalam upaya mendorong pelaksanaan penerimaan peserta didik baru yang nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan, sejak tahun 2017, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerapkan sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB).

Zonasi pendidikan ini dimaksudkan untuk mempercepat  pemerataan akses dan kualitas pendidikan nasional, di mana anak-anak pintar diharapkan tidak hanya menumpuk di sekolah-sekolah unggulan, melainkan tersebar di berbagai sekolah sehingga semua sekolah dapat bersaing dengan sekolah unggulan.

Melalui kebijakan ini, tampaknya pemerintah ingin mengubah paradigma tentang sekolah favorit yang sudah lama dianut oleh masyarakat Indonesia, sehingga hanya beberapa sekolah yang dianggap sebagai sekolah yang berkualitas. Seolah terjadi pembentukan “kasta” di antara sekolah-sekolah yang memisahkan antara sekolah “uggulan” dan sekolah “buangan”.

Peningkatan kualitas pendidikan demi terwujudnya kehidupan manusia Indonesia yang lebih berkualitas telah menjadi salah satu target pemerintah yang termaktub dalam Nawa Cita Presiden Joko Widodo sejak tahun 2016. Hal ini didukung pula dengan Permendikbud No.19 tahun 2016 bahwa Program Indonesia Pintar mendukung pelaksanaan pendidikan menengah universal/rintisan wajib belajar dua belas tahun.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka harapan lama sekolah anak usia 7 tahun di Bali adalah 13,23 tahun. Artinya, secara rata-rata anak di Bali usia 7 tahun yang masuk ke jenjang sekolah formal pada tahun 2018 memiliki peluang untuk dapat bersekolah selama 13,23 tahun atau setara dengan sekolah hingga jenjang Diploma I. Jika harapan itu dapat terwujud di Bali, maka target pemerintah untuk mencapai wajib belajar 12 tahun tentunya dapat terwujud.

Berdasarkan data Susenas 2018, penduduk Bali usia 25 tahun ke atas rata-rata telah menempuh pendidikan selama 8,65 tahun atau hampir menamatkan sekolah kelas IX (setara dengan kelas 3 SMP). Hal ini diketahui dari data rata-rata lama sekolah Provinsi Bali tahun 2018 yang berada pada angka 8,65 tahun. Untuk dapat mencapai lama sekolah yang diharapkan (bersekolah hingga jenjang Diploma I), paling tidak diperlukan fasilitas sekolah SD, SMP, dan SMA yang memadai bagi anak-anak usia sekolah, baik dari sisi jumlah infrastrukturnya maupun keterjangkauan jarak dan biaya.

Baca juga:  Modernisasi Pertanian Mewujudkan Visi Indonesia 2045

Penerapan sistem zonasi membatasi penerimaan jumlah siswa berprestasi dan lebih banyak kuota untuk jalur zona kawasan tempat tinggal hingga minimal 90 persen dari jumlah siswa yang diterima. Kuota zonasi 90 persen sudah termasuk peserta didik yang tidak mampu

dan penyandang disabilitas pada sekolah yang menyelenggarakan layanan inklusif. Lalu, apakah infrastruktur yang ada sudah mampu untuk menjawab tantangan dari penerapan sistem zonasi pendidikan tersebut? Pada jenjang pendidikan SD sederajat, pendataan Potensi Desa (Podes) yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2018 lalu mencatat bahwa terdapat 709 sekolah SD sederajat yang aktif di Provinsi Bali, sedangkan jumlah desa/kelurahan yang ada Bali adalah 716 desa/kelurahan.

Artinya, sebagian besar desa/kelurahan di Bali telah memiliki sarana pendidikan SD sederajat, meski ada 7 desa/kelurahan yang belum memilikinya.

Pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat, data Podes 2018 mencatat ada 311 sekolah SMP yang masih aktif di Bali. Artinya lebih dari separuh (56,5 persen) dari total desa/kelurahan di Bali belum memiliki sarana pendidikan SMP di

desa/kelurahannya sehingga lulusan SD di desa-desa tersebut harus mencari sekolah SMP di desa lain jika ingin melanjutkan pendidikan. Secara rata-rata, mereka harus menempuh jarak sekitar 4,9 km menuju SMP terdekat.

Jika dirasiokan antara jumlah sekolah SMP dengan jumlah desa/kelurahan, satu sekolah SMP digunakan untuk menampung anak didik di 2 desa/kelurahan terdekat. Sedangkan pada jenjang SMA, data Podes 2018 mencatat bahwa terdapat 135 Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat dan 124 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau satu sekolah SMA/SMK untuk 5 desa/kelurahan di Bali.

Baca juga:  Komitmen Gubernur Koster Perbaiki Pendidikan, PPDB Dimasukan dalam Perda Haluan Pembangunan Bali Masa Depan

Untuk jenjang SMP dan SMA, pada umumnya sekolah menumpuk terletak di pusat kecamatan maupun di desa-desa terdekat dari pusat kecamatan. Dengan adanya sistem zonasi, anak-anak yang tinggal di desa yang jauh dari pusat kecamatan, tentunya akan semakin sulit menjangkau sekolah karena kalah bersaing dengan anak-anak yang tinggal

dekat dengan sekolah. Bagi mereka yang berprestasi mungkin masih ada peluang, meski kuota jalur prestasi juga hanya lima persen. Imbasnya, anak-anak yang tinggal jauh dari pusat kecamatan dan tidak dapat tertampung di sekolah negeri, hanya punya pilihan bersekolah di sekolah swasta yang notabene membutuhkan biaya lebih mahal dibandingkan biaya sekolah negeri.

Hal ini tentunya semakin membebani orangtua murid, di samping biaya transportasi sekolah yang besar, bahkan biaya kos bagi mereka yang memilih untuk kos di dekat sekolah. Biaya sekolah yang semakin besar sedikit banyak memengaruhi keputusan orangtua murid di desa-desa yang jauh dari pusat kecamatan untuk menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang SMP bahkan SMA sederajat.

Tidak dapat dimungkiri bahwa tingkat pendidikan orangtua dapat memengaruhi pola pengambilan keputusan dalam hal menyekolahkan anak. Data Susenas tahun 2018 menyebutkan bahwa 56,64 persen penduduk Bali berumur 15 tahun ke atas adalah mereka yang memiliki ijazah terakhir SMP ke bawah.

Dapat dikatakan sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas di Bali berlatar belakang pendidikan SMP ke bawah. Tentunya butuh waktu bagi masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sistem penerimaan peserta didik baru. Terutama bagi masyarakat perdesaan yang berlatar belakang pendidikan rendah, dikhawatirkan dapat mengurungkan niat untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi karena kurangnya pengetahuan akan perubahan sistem yang terjadi.

Baca juga:  Transportasi pada Era Baru

Lebih lanjut, hal ini akan berpeluang meningkatkan jumlah angka putus sekolah, terutama di wilayah perdesaan. Berdasarkan data Susenas, pada tahun 2018 sebanyak 26,39 persen dari penduduk Bali usia 7-24 tahun tercatatat tidak bersekolah lagi. Persentase penduduk usia 7-24 tahun yang tidak bersekolah lagi tertinggi ada di Kota Denpasar yakni sebesar 31,03 persen, disusul oleh Kabupaten Bangli (27,72 persen) dan Kabupaten Tabanan (27,57 persen).

Penerapan sistem zonasi pendidikan dimaksudkan untuk mendekatkan siswa dengan lingkungan sekolah. Namun, agaknya dibutuhkan kajian yang lebih mendalam terkait ketersediaan infrastruktur sekolah mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA sederajat sampai ke pelosok negeri. Jika ingin mencapai rata-rata lama sekolah yang sesuai dengan lama sekolah yang diharapkan, yakni minimal hingga tingkat Diploma I, maka

kiranya perlu dipertimbangkan untuk menambah jumlah infrastruktur sekolah dan memberikan subsidi biaya pendidikan SMA baik untuk sekolah negeri maupun swasta agar tidak ada lagi anak putus sekolah karena keberatan biaya ataupun karena rumahnya jauh dari sekolah. Terutama untuk desa-desa yang jauh dari pusat kecamatan dapat dipertimbangkan membangun sekolah baru mulai jenjang SD hingga SMA dengan fasilitas yang memadai, keberadaan tenaga pengajar yang cukup berkualitas, serta subsidi peralatan sekolah bagi mereka yang tidak mampu.

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No. 20 tahun 2003 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, dan mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat maka pemerataan jumlah dan kualitas infrastruktur pendidikan hingga ke seluruh pelosok negeri merupakan kebutuhan mutlak yang hendaknya disediakan oleh negara. Tak hanya

harus dekat dengan siswa, pendidikan juga harus murah dan terbuka untuk semua.

 

Penulis, statistisi di BPS Kabupaten Buleleng

 

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *