Suka Arjawa. (BP/dok)

 

Oleh GPB Suka Arjawa

Ada kekhawatiran bahwa vaksin virus Corona akan menjadi komoditas politik di masa depan, atau saat penemuannya. Ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan setiap negara, setiap komunitas untuk mendapatkannya. Politik di sini, bisa jadi dalam bentuk monopoli, penguasaan, dan dominasi.

Ada kabar yang menyebutkan bahwa Amerika Serikat kini telah memborong ‘’bahan-bahan’’ (bahasa sederhananya) pembuatan vaksin tersebut dari seluruh dunia karena kemampuan modalnya untuk melakukan hal itu. Tetapi masih belum jelas apakah benar demikian sikap yang ditujukan oleh negara adidaya tersebut. Inilah persoalan lain yang dihadapi negara dan masyarakat dunia di masa depan.

Seperti banyak yang sudah dibicarakan, bahwa hingga saat ini vaksin dari virus ini masih belum ditemukan dan negara telah berlomba-lomba untuk melakukan penelitian dan riset untuk dapat menghasilkan vaksin ini. Bagaimanapun, di samping mempunyai nilai ekonomis, vaksin ini akan mempunyai pengaruh politik dan prestise. Beberapa negara yang sudah disebut-sebut bersaing untuk itu adalah Amerika Serikat, Jerman (dan negara Eropa lainnya) serta China. Jadi, riset terhadap vaksin ini mirip dengan persaingan negara untuk bisa mengelilingi angkasa (dimenangkan oleh Uni Soviet dengan Sputnik), lalu dibalas oleh Amerika Serikat dengan mendaratkan manusia di bulan (tetapi ada yang meragukan!), mendaratkan manusia di Mars yang sekarang jadi lomba juga dengan Amerika Serikat dengan China, atau mirip dengan lomba kepemilikan senjata nuklir pada masa Perang Dingin (yang hasilnya sama kuat antara Amerika Serikat dan Uni Soviet).

Baca juga:  Desa sebagai Basis Ketahanan Hadapi Pandemi

Tetapi lomba penemuan vaksin jauh lebih mempunyai manfaat kesegeraan bagi umat manusia, yaitu penyembuhan dan penyelamatan umat manusia. Eksplorasi ruang angkasa juga mempunyai manfaat besar bagi umat manusia, tetapi masih jauh sekali di masa depan dari ukuran waktu manusia. Sebaliknya vaksin Covid-19 adalah kesegeraan.

Vaksin Covid-19 bukan saja jelas merupakan barang yang sangat strategis dan mempunyai nilai kemanfaatan tinggi bagi umat manusia. Karena itu akan menjadi lomba untuk menguasainya, terutama bahan dasar dari keperluan tersebut. Dalam konteks melakukan penelitian, riset, observasi, percobaan untuk mengembangkannya, kerja sama antarnegara dan antarpara ahli masih mungkin untuk dilakukan.

Kerja sama ini secara sosial sangat berguna untuk berdialektika ilmu pengetahuan. Setiap langkah ilmu pengetahuan, diperlukan dialektika, pengetahuan untuk saling mendiskusikan dan saling mengkritisi pendapat atau temuan dari riset ini.

Hasil penelitian tidak boleh secara angkuh dipegang oleh pendapat sendiri, apalagi untuk kemanfaatan kesembuhan umat manusia. Bolehlah di sini dikatakan sebagai sisi demokrasi dari praktik ilmu pengetahuan tersebut. Keterbukaan di sini sangat berguna untuk menghindarkan kerugian bagi umat manusia dan menambah kemanfaatan bagi penyembuhan umat manusia yang menderita flu Corona tersebut.

Sikap egois terhadap pendapat sendiri, bisa jadi akan merugikan umat manusia karena temuan belum tentu cocok untuk masyarakat yang hidup di daerah panas, berkulit hitam atau negaranya tercurah sinar matahari terus-menerus. Mungkin temuan itu hanya cocok untuk daerah yang beriklim dingin, dengan masyarakatnya yang berkulit putih.

Baca juga:  Sepuluh Juta Vaksin COVID-19 Produksi Dalam Negeri Mulai Disuntikkan

Meski demikian, apabila ‘’bahan baku’’ dari vaksin tersebut ternyata kelak hanya ditemukan di negara atau wilayah-wilayah tertentu di dunia ini, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi. Pasti perebutan pengaruh akan muncul di sana. Jadi, mirip dengan temuan rempah-rempah di Maluku pada abad pertengahan yang membuat tidak saja bangsa Portugis dengan saingannya berkonflik di Maluku, tetapi juga memicu peperangan domestik antarraja di sana. Inilah yang harus diperhatikan oleh setiap negara yang ada di dunia, tentu juga bagi Indonesia. Apabila benar Amerika Serikat telah memborong bahan dasar dari vaksin ini, haruslah kemudian diwaspadai.

Politik adalah upaya untuk menguasai sumber daya dengan biaya yang sekecil-kecilnya dan strategi yang paling maksimal. Pengertian politik di sini nyaris menyerupai konsep-konsep ekonomi. Dengan konteks demikian, bahan dasar vaksin Corona merupakan sumber daya yang tidak ternilai harganya. Seluruh penduduk dunia yang berjumlah hampir tujuh miliar jiwa itu pasti memerlukan. Keberadaannya tidak saja menguntungkan secara ekonomi tetapi juga kemanusiaan, sosial dan kebudayaan.

Tidak semua negara (sudah pasti) mempunyai sumber daya ini. Karena itu pasti akan ada saling rebutan apabila diperlukan sumber daya tersebut. Ketika rebutan terjadi, maka tidak lain akan ada upaya penguasaan yang bisa dalam bentuk konflik dan konflik yang paling keras adalah peperangan. Meski tidak banyak negara mempunyai sumber daya tersebut, namun banyak negara besar yang mampu dan mempunyai kekuatan serta keberanian untuk menguasainya.

Baca juga:  Hingga Akhir 2022, Puluhan Juta Dosis Vaksin COVID-19 Masih akan Diterima

Dari sisi kekuatan saja, negara G7 pasti memiliki kekuatan (militer dan dana) untuk menguasai sumber daya bahan mentah virus Corona itu. Tetapi banyak negara juga yang mempunyai keberanian untuk merebutnya. India, China, dan negara-negara di Timur Tengah memunyai keberanian untuk itu. Dari sisi strategi untuk mendapatkan, bisa saja melalui perang, diplomasi, pencurian sampai dengan tipu muslihat. Semua cara ini adalah rasional karena menggunakan pikiran. Jadi, potensi memperebutkan sumber daya atau ‘’bahan mentah’’ vaksin ini berpotensi dipolitisasi.

Bagaimana dengan Indonesia? Di sinilah harus kita hati-hati dan waspada  mengenai hal ini. Mungkin bukan sekadar vaksin yang bisa ditemukan tetapi bahan mentah untuk obat-obatan penyembuh dan pencegah virus Corona  berpotensi besar ditemukan di Indonesia. Dengan berbagai keanekaragaman sumber alam, tumbuh-tumbunan, sumber hayati laut dan sebagainya yang dimiliki Indonesia, maka potensi itu tidaklah mengherankan apabila di masa depan obat dan vaksin Corona ini ditemukan di Indonesia (seperti juga halnya dengan pil kina untuk obat malaria di masa lalu).

Persiapan untuk penelitian, kejujuran dan kedaulatan bangsa harus diperkuat. Kejujuran diperlukan karena apabila hal itu ditemukan, haruslah dipertahankan di Indonesia, tidak dijual secara diam-diam ke luar negeri oleh oknum tertentu demi keuntungan pribadi atau malah untuk kepentingan politik tertentu. Kita berharap vaksin dan obat ini ditemukan di Indonesia.

Penulis, Staf Pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *