Suka Arjawa. (BP/dok)

Oleh: GPB Suka Arjawa

Pasar kira-kira mempunyai peran yang sama dengan balai banjar di masa lalu. Keduanya merupakan tempat interaksi sosial, perjumpaan dan pelepasan emosi serta penyerapan pengetahuan oleh masyarakat. Tradisionalisme memerlukan tempat untuk penyerapan pengetahuan dan pelepasan segala pemikiran yang ada.

Hanya dalam hal sistematika serta etika, dua tempat itu memiliki perbedaan. Di balai banjar hal itu berlangsung lebih tertata, lebih etis sehingga menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sistematis juga. Seni tari dan berbagai hasil budaya Bali sebagian besar lahir ‘’melewati’’ balai banjar. Gong kebyar, tari-tarian sampai dengan geguritan muncul ‘’melewati’’ ranah balai banjar ini.

Pemanfaatan balai banjar dari sisi waktu, kualitas acara, termasuk anggota masyarakat yang hadir adalah orang-orang terpilih. Rapat dilangsungkan di balai banjar, biasa dilakukan di pagi hari atau malam hari. Latihan menari dilakukan sore hari. Pementasan drama dilangsungkan di malam hari. Jika bulan purnama, di masa lalu sentir atau lampu obor masih dapat dipasang lebih sedikit dari kebiasaan.

Pasar, bukannya tidak menghasilkan pengetahuan, tetapi apabila dilihat sistematikanya, kurang tertata. Betul pasar pun mempunyai sistematika tersendiri. Ada pasar sapi, ada pasar ceraki, pasar senggol dan sebagainya. Tempatnya juga tersegmentasi secara baik. Ada juga pasar tidak dibuka setiap hari. Pasar sapi, misalnya, dibuka setiap Rabu atau Minggu. Malah pasar babi dan itik mempunyai hari tertentu juga dibuka.

Tetapi dari sisi pilihan orang yang datang, norma-norma yang masuk ke dalamnya, jauh berbeda dengan apa yang ada di balai banjar. Dapat dikatakan siapa pun bisa masuk ke arena pasar. Cenik, kelih, tua, bajang! Entah dia bromocorah atau seorang undagi, termasuk juga entah sehat atau tidak.

Baca juga:  Memulihkan Kepercayaan Publik pada Hiburan Malam

Di masa lalu, orang sebebasnya batuk, meludah bahkan buang air. Cara membawa hewan juga bebas. Rekaman-rekaman masa lalu pasar di Bali memperlihatkan orang seenaknya nyangkil babi, ayam atau itik di sebelah dagang nasi atau rujak. Di masa lalu, orang tanpa memakai baju! Kemungkinan besar wabah desentri, kolera atau cacar di masa lalu mudah terjangkit atau mulai dari pasar.

Tetapi pasar jelas mempunyai fungsi sosial yang tinggi. Di sini juga berlangsung ‘’pertunjukan seni’’. Tawar-menawar adalah sebuah seni, bahkan juga rasional. Dari rumah, seorang pembeli sudah mempelajari sikap dan kebiasaan pedagang yang dituju, kemudian mencoba menerapkan strategi penawaran, termasuk hit and run (lari untuk kemudian dipanggil lagi oleh pembeli), selanjutnya merasa senang karena berhasil melakukan penawaran.

Tentu sebaliknya juga kepada penjual yang merasa menang dengan berhasil menjual dagangan harga tinggi (pembeli ketipu). Inilah seni yang ada di pasar tradisional. Pasar adalah penyerapan pengetahuan karena barang-barang baru ada dilihat, pemahaman terhadap cara untuk membuat umbi-umbian besar, penggemukan sapi, sampai dengan pengetahuan jadwal dan tempat tajen, adu layangan, musim petik padi, orang meninggal, ngaben dan seterusnya. Mungkin pidato Soekarno juga dibicarakan di pasar.

Yang lain, orang bebas mengeluarkan pikiran, ujaran bahkan sampai mengumpat pun bisa. Pasar juga tempat perjumpaan dengan kawan lama, berkumpulnya ibu-ibu, perkenalan jenis sirih yang paling mantap untuk dikunyah, atau mungkin menggosipkan bahan tengkuluk (sejenis handuk yang dililitkan di kepala) yang dipakai oleh pedang yang lain.

Baca juga:  Bali "Back to Basic"

Fenomena pasar tradisionil demikian, kiranya tidak berubah sampai sekarang. Fungsi dan perannya masih sama, termasuk juga beberapa karakter negatif yang masih melekat pada pasar tersebut. Guna menghindari karakter negatif ini, beberapa kota besar di Indonesia telah merevitalisasi pasar tradisional. Yang direvitalisasi adalah kebersihannya. Itulah yang terlihat di Jakarta (Bintaro) yang membuat pasar tradisional berlantai dan bersih. Denpasar juga telah melakukan hal seperti itu. Tetapi soal tawar-menawar tetap masih bisa dilakukan. Seni yang satu ini sukar hilang dari kebiasaan orang Indonesia.

Jika fenomena itu dikaitkan dengan Pasar Kumbasari, kiranya sisa-sisa masa lalu dari pasar ini masih melekat. Termasuk juga karakter sosialnya. Di masa lalu, pasar itu bernama Peken Payuk (Kumba). Payuk (periuk) merupakan dasar perangkat kehidupan sosial Bali tradisional. Semuanya bermula dari sini. Sebagai perangkat pembuat segala makanan, periuk memegang kendali atas kesehatan, perkembangan dan gengsi masyarakat pada waktu itu.

Jadi, pasar (peken payuk) pasti ramai, sebuah kondisi interaksi yang ideal untuk kehidupan sosial. Segala pola kehidupan sosial ada di pasar itu, apalagi kemudian berdekatan dengan puri dan di jantung ibu kota. Pola-pola kehidupan sosial inilah yang kemudian menurun sampai sekarang. Pola kehidupan sosial seperti cara berkelompok, berkomunikasi, menyampaikan pesan, rupa persahabatan, sangat sulit berubah bergenerasi.

Pasar Kumbasari jelas turunan dari Peken Payuk di masa lalu, betapapun Peken Payuk ini coba dimodernisasikan. Dan sisa-sisa pola sosial itu masih tertinggal. Masih jelas terlihat ada orang (pedagang) yang memakai tengkuluk dengan keranjang berlubang banyak. Apalagi itu di pasar malam! Masih jelas ada kerumunan, juga dengan pola dudukan berjualannya. Juga cara mereka berbicara termasuk etika mengeluarkan droplet, masih seperti di masa lalu. Tentu saja juga seni berdebat untuk menawar barang. Bukankah perdebatan ini memungkinkan keluarnya droplet di mana-mana? Kalaupun mereka bersuaha modern, itu terlihat bahwa para pedagang memakai celana panjang dan tukang suun memakai kaos kaki. Pemakaian kaos kaki ini pun terlihat sebagai sebuah modernisasi malu-malu (atau ragu-ragu) karena mereka tetap memakai sandal jepit. Tentu saja akan lebih mudah berjalan dengan sekalian memakai sepatu ringan sambil menjunjung barang di kepala ketimbang memakai kaos kaki tetapi bersandal jepit.

Baca juga:  Pengawasan Lokasi Konservasi Penyu Diperketat

Dengan demikian, pola sosial itu masih bertahan. Dan inilah mungkin yang menjadi penyebab penyebaran virus Corona tersebut. Secara sosial, cara untuk mengendalikan ini adalah dengan memberi pengarahan, mendatangi mereka langsung. Petugas sudah benar memberikan pengarahan melalui loudspeaker langsung ke dalam pasar. Tentu saja harus berkali-kali dilakukan. Benar, cara memberikan pesan melalui rekaman juga bagus. Tetapi kehadiran petugas akan dapat meyakinkan lebih dalam untuk masyarakat yang tradisional. Apalagi petugas itu adalah petugas yang berasal dari kalangan elite.

Yang harus diwaspadai adalah bukan hanya Denpasar yang mempunyai pasar tradisional. Semua daerah mempunyai pasar seperti itu. Apalagi, sekarang desa adat juga ikut-ikutan membuat pasar. Maka, kewaspadaan juga harus masuk ke wilayah ini.

Penulis, staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *