Sugi Lanus. (BP/Istimewa)

Oleh: Sugi Lanus

Kisah Calonarang adalah salah satu informasi tertua yang berisi “pengetahuan wabah” yang diwarisi masyarakat Nusantara. Kisah ini punya dua sisi. Satu sisi berupa horor kematian dan tuduhan pada Dyah Nateng Dirah sebagai ratu ilmu hitam (Calonarang) yang menebar wabah.

Sisi lainnya, berisi petunjuk bagaimana kepemimpinan tradisional Jawa Kuno dan Bali dalam menghadapi wabah, bagaimana strategi raja dan para mpu secara holistik menyikapi bencana wabah di masa lalu. Teks Calonarang — yang berlatar waktu sekitar akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 — jarang dibedah sisi lainnya yang berisi informasi bagaimana raja dan para mpu di Jawa Kuno dan Bali ‘’menginvestigasi’’ wabah. Cuplikan investigasi dalam suasana penularan wabah tersebut seperti tenggelam oleh kisah horor ilmu hitam yang menonjol dalam dongeng dan pementasan.

Diawali dengan pemaparan bagaimana mayat-mayat bergelimpangan. Kerajaan dilanda wabah — pageblug, gering, marana, gerubug, sasab. Di zaman tiada ada mikroskop: Wabah identik dengan ilmu hitam. Bukan virus atau bakteri diwanti-wanti, tetapi Dyah Nateng Dirah dituduh biang keladi.

Dalam menghadapi wabah yang tumpang tindih dengan tuduhan dan rumor, Raja Airlangga dan Mpu Bharadah tidak mau gegabah. Mereka mengirim Mpu Bahula — seorang terpelajar yang tercerahi, dibesarkan dalam silsilah perguruan dharma yang lurus — untuk mencari tahu kehidupan Dyah Nateng Dirah. Benarkah dia seorang Calonarang ratu ilmu hitam?

Mpu Bahula mendatangi keluarga Nateng Dirah. Dalam pada itu, Ratna Manggali — putri kesayangan Nateng Dirah — hatinya luluh oleh kecemerlangan Mpu Bahula. Mpu Bahula mendapat kesempatan membaca kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran yang dipraktikkan Dyah Nateng Dirah. Hasil investigasinya dilaporkan ke Mpu Bharadah. Disimpulkan tidak ada yang salah dengan kitab-kitabnya, hanya ‘’dibaca terbalik’’.

Baca juga:  Dihujat Karena Perlihatkan Alat Kontrasepsi di Pura Samuantiga, Pelaku Dituntut "Ngaturang Guru Piduka"

Raja Airlangga mendengar wejangan guru dharma Mpu Bharadah — simbol wiweka (nalar jernih) dan kapradnyanan (kecerdasan yang suci). Sebagai pemimpin dia selalu bersikap hati-hati. Cermat mengumpulkan data dan terukur menghitung perkembangan situasi. Memutuskan dengan bijak berdasar kajian investigasi yang valid. Kata kuncinya ‘’investigasi’’.

Penasihat Negara yang Bijak, Mpu Bharadah dan Mpu Kuturan

Mpu Bharadah ternama sebagai penasihat yang jernih. Kualifikasinya tidak diragukan. Darinya kita mewarisi manuskrip Lontar Kaputusan Mpu Bharadah. Naskah lontar ini menjadi bukti bagaimana Mpu Bharadah bukan hanya bijak dan cermerlang sebagai guru dharma, penasihat tata negara, tetapi sekaligus mumpuni dalam merumuskan protokol penyembuhan berbagai penyakit dan wabah.

Lontar Kaputusan Mpu Bharadah dibuka dengan risalah terjadinya alam semesta, dari duk tan hanā paran-paran — ketika belum tercipta alam semesta — berlanjut ke penciptaan alam dan manusia, diikuti turunnya berbagai penyakit yang akan mengantar manusia kembali ke alam muasal. Manusia dan penyakit seperti tubuh dan bayangannya yang mengikutinya. Dilanjutkan dengan bagian obat-obatan. Disebutkan iti kaputusan larā salwiring larā — inilah pengetahuan segala macam penyakit. Resep-resep obat disebutkan. Dari muntah darah dan pingsan tiba-tiba, sakit kepala dan dada sesak, demam dan flu yang mengakibatkan tersumbat saluran pernapasan, cacar dan penyakit kulit mematikan, serta berbagai terapi dan mantra-mantra yang berkaitan dengan wabah dan penyakit lainnya.

Mpu Kuturan juga mewariskan naskah lontar berisi pengobatan berbagai penyakit dan wabah. Warisan yang berisi kompilasi obat-obatan herbal ini dikenal sebagai Usada Taru Pramana. Dibuka dengan kisah Mpu Kuturan sangat berduka ketika wabah menimpa masyarakat. Kegagalannya secara terus-menerus dalam menyembuhkan korban wabah membuatnya jengah harus melakukan pencarian mendalam — tapa-brata-upawasa-samadhi. Hasilnya, tidak kurang dari 200 ramuan herbal dirumuskan. Narasi naskah ini sangat menarik, berbentuk percakapan antara Mpu Kuturan dengan tumbuhan-tumbuhan yang memiliki khasiat penyembuhan, satu-per satu bahan-bahan herbal disebutkan.

Baca juga:  Jadi Alternatif Pengobatan Terjangkau, Jamu Tradisional Perlu Disaintifikasi 

Mpu Kuturan adalah suami dari Dyah Nateng Dirah — tertuduh ratu ilmu hitam Calonarang. Mpu Kuturan adalah kakak dari Mpu Bharadah. Memenuhi panggilan dharma, Mpu Kuturan meninggalkan kehidupan rumah tangganya di Jawa dan ke Bali sebagai guru suci. Dikenang sebagai konseptor kebudayaan Bali — dari penataan desa pakraman, pedoman upakara-upakara pendirian tempat suci, serta berbagai liturgi dan kompilasi mantra-mantra Kusumadewa. Yang jarang diingat adalah keteladanannya dalam merumuskan Usada Taru Pramana, naskah pedoman pengobatan berbagai penyakit yang dirumuskan ketika wabah.

Selain naskah lontar tersebut di atas, terdapat berbagai naskah lain terkait pengobatan penyakit dan wabah terwariskan dalam khazanah naskah Sunda, Merbabu, dan Jawa Kuno yang belum tersingkap. Naskah-naslah tersebut bukti bahwa setidaknya dari seribu tahun silam telah tersedia literasi kesehatan yang terkait wabah di Nusantara. Jika dibandingkan dengan zaman sekarang, manuskrip-manuskrip ini kurang lebih seperti protokol medis, sekaligus tuntunan hidup sehat berasas harmoni dengan alam.

Kepemimpinan di Tengah Kegaduhan

Kemunculan wabah sepertinya memang selalu diikuti bayangannya sendiri, berupa suara gaduh teori konspirasi, suara riuh resah rakyat. Seperti jejak digital dunia media sosial hari ini, tafsir saling bersahutan dengan tafsir lainnya. Tidak tersedia kepastian di dalamnya. Demikian juga teori konspirasi yang menuduh Dyah Nateng Dirah sebagai ratu ilmu hitam (Calonarang) berlanjut berabad-abad. Teks Calonarang adalah potongan bayangan gelap dari peristiwa wabah di masa silam yang tidak sepenuhnya terpahami.

Baca juga:  Menyoal Jargon Bahasa dalam Medsos

Selama berabad-abad masyarakat gaduh menafsir kisah Calonarang. Berbagai versi naskah ditulis dengan interpretasi masing-masing. Berbagai versi dongeng, novel, dan pementasan teater, turut memberi reinterpretasi. Di balik semua itu, teks Calonarang punya sisi terang tentang solusi mengatasi wabah: Investigasi dan rekonsiliasi. Bukan dengan pasukan, bukan dengan arogansi kekuasaan.

Tidak mudah terprovokasi. Tidak gampang menelan teori konspirasi. Bijak memilih jalur investigasi, memvalidasi data lapangan dengan sungguh-sungguh. Tidak berkomentar berdasarkan asumsi dan rumor. Memetakan seluruh realitas lapangan sebelum memutuskan. Tidak terjebak isu dan informasi yang tidak valid. Demikianlah kebijaksanaan Raja Airlangga diceritakan dalam karya sastra kakawin dan teks lain.

Ketika wabah datang, rakyat pasti bingung dan gaduh. Dalam berbagai peristiwa wabah di masa lalu, rakyatlah yang terberat dirundung susah. Wabah selalu diikuti bayang gelap bencana kelaparan. Raja Airlangga memberi panutan kepemimpinan yang proaktif melakukan investigasi, mengerahkan pemikir terbaik Mpu Bharadah, dan juru tilik lapangan yang bernas, rapi mencatat dan memegang dharma, Mpu Bahula.

Semoga wabah Covid-19 berakhir indah seperti akhir kisah Calonarang. Dyah Nateng Dirah merestui pernikahan putrinya, Ratna Manggali, dengan Mpu Bahula. Pernikahan mereka diberkati Mpu Bharadah dan Raja Airlangga — sebuah kisah rekonsiliasi antara tertuduh dan penguasa dalam ikatan kekeluargaan yang saling mengayomi. Mpu Bahula dan Ratna Manggali memiliki keturunan bernama Mpu Wiranatha alias Mpu Tantular, sang mumpuni perumus kalimat ‘’Bhinneka Tunggal Ika’’ dalam kitab Kakawin Sutasoma, yang sampai kini menjadi pilar berpikir keberagaman dan solidaritas dalam bernegara.

Penulis adalah pembaca naskah Bali dan Jawa Kuno

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *