Kadek Suartaya. (BP/Istimewa)

Oleh Kadek Suartaya

Sebuah ritus mistik digelar pada kegelapan malam di tengah kuburan. Ditingkah suara jangkrik serta diselingi
celetukan burung hantu, berkelebat bayangan-bayangan menyeringai sembari tertawa cekikikan.

Sekelompok sosok berambut panjang terurai itu menggumamkan celoteh magis. Mereka adalah para perempuan penganut sihir yang sedang ngereh, prosesi ngelekas berubah wujud menjadi siluman yang menyeramkan. Adegan yang mengundang kengerian ini senantiasa dihadirkan dalam dramatari Calonarang.

Para penari sisyan yang dituturkan sebagai anak didik penganut ilmu hitam, Janda Dirah, dilukiskan menggalang kebulatan tekad mengumbar teror horor. Para penari mengibas-ngibaskan kekereb, selembar kain putih bertoreh rerajahan, bertingkah langkah meniti tabuhan gending tunjang.

Iringan gamelan ngereh yang terasa membangun bulu roma bergidik ini lazim disebut Tunjang Cenik alias Tunjang Celuluk. Tak salah bila para peneliti asing menyebut teater Calon Arang sebagai drama of magic.

Konstruksi dramatik seni pertunjukan ini tak lepas dari sastra sumbernya yang bertema teluh, yaitu Lontar Calon Arang (1540 Masehi) yang berseting era Kerajaan Airlangga di Jawa Timur pada abad XI. Walau para
pegiat seni pentas ini juga ada yang menyuguhkan
lakon alternatif penyalonarangan seperti Balian
Batur, Basur, Madu Segara dan sebagainya, namun pada intinya, susunan plot adegan dalam ungkapan tarian dan iringan gamelannya, sarat dengan karakteristik estetik mistik-magis.

Baca juga:  Pementasan Calonarang Pamurub Tattwa, Dibakar Lima Menit Watangan Tanpa Luka Sedikitpun

Ngereh juga ditunjukkan oleh perubahan wujud di Rarung dan gurunya, Ni Calonarang. Iringan gamelan ngereh kedua tokoh ini disebut Tunjang Rarung atau Tunjang Rangda. Kesan angker iringan ngereh dalam dramatari Calon Arang berdesir dengan liukan melodi yang berelemen nada deng, terutama pada akhir siklusnya.

Interpretasi keangkeran adegan ngereh dalam dramatari Calon Arang mengkristal secara emosional dari penggalan teks sastra Calon Arang. Disebutkan ketika Ni Calonarang bersama murid-muridnya memohon kepada Bhatari Durga agar menganugerahkan kesaktian dan kemudian diberikan izin untuk membencanai rakyat Kerajaan Kediri dengan serangan leak, gelaran ritusnya
diiringi dengan kemanak dan kangsi.

Denting hening instrumen kemanak dan gemerincing
halus dari kangsi ini diduga mengimajinasi para seniman gamelan dalam menyusun iringan tarian dan liukan suasana sugestif aji wegig alias ilmu hitam dalam ungkapan seni pertunjukan Calon Arang. Instrumen kemanak dan kangsi, kini hanya dapat dipergoki dalam gamelan Gambuh dan sama sekali tak dihadirkan dalam barungan Penyalonarangan.

Kemanak berbentuk sepasang selinder kecil, masing-masing sepanjang 15 cm terbuat dari kerawang. Sedangkan kangsi berupa secakup cengceng mini yang ditautkan dengan tali. Ngereh secara estetik-dramatik dalam seni pentas Calon Arang, pada umumnya dipahami oleh para penonton berposisi ngiwa antagonis.

Baca juga:  Calonarang dan Ajaran Kepemimpinan Dalam Menghadapi Wabah

Tetapi, ternyata, ngereh bukan hanya eksis dalam pagelaran Calon Arang. Sejatinya, sebuah prosesi
berlatar psiko-relegi yang diwarisi masyarakat Hindu Bali mengukuhkan ngereh dalam makna sakral sebagai internalisasi transendental memohon perlindungan dan keselematan. Ngereh dalam makna sakral adalah tahap terakhir atau puncak dari suatu rangkaian yang panjang berkaitan keberadaan suatu simbol suci keagamaan.

Pembuatan tapakan Barong dan Rangda sebagai
sungsungan misalnya, setelah dianggap selesai secara sekala, kemudian akan melewati rangkaian ritual berjenjang menuju prosesi ngereh. Kiblat yang diacu dalam prosesi ngereh yang ditransmisikan turun menurun masyarakat Bali ini berlandaskan petunjuk lontar Canting Mas, Widhi Sastra, Ganapati Tatwa dan Lontar Pengerehan.

Lontar-lontar itu mendefinasikan ngereh sebagai ritual rahasia yang dilaksanakan di kuburan atau setra dengan memohon anugerah Dewi Durga. Sebuah mitologi Hindu menuturkan Dewa Siwa mengutuk dan mengusir istrinya, Dewi Uma, agar tinggal di bumi, karena melakukan suatu kekhilafan.

Baca juga:  Benteng Terakhir Lawan Korupsi

Di Bumi, Dewi Uma dihormati sebagai penguasa alam peleburan yang berstana di Setra Gandamayu, dipuja masyarakat dengan sebutan Dewi Durga Bhirawi. Syahdan ketika Dewa Siwa melepas rindu melampiaskan cinta asmara kepada Sakti-nya, bumi gonjang-ganjing.

Begitulah, ngereh adalah sebuah energi budaya masyarakat Bali yang tak lekang dari gerusan dan gempuran debur modernisasi. Dalam konteks jagat seni teater Calon Arang, masyarakat penonton, selain disuguhkan nilai keindahan tari dan karawitan, juga dipersilakan mereguk saripati pesan moral ceritanya.

Sedangkan dalam konteks kultural, ngereh menyuruk ke lubuk rohani, menginternalisasi keteguhan masyarakat
Bali merawat keyakinannya, relegiusitasnya, bhaktinya yang disyukuri memancarkan tuah, berkah dan anugerah kehidupan. Kiranya, ajaran tersembunyi dari ngereh berspektif kontekstual dalam kompleksitas kehidupan masa kini.

Dari sisi pandang konstruksi-positifistik, ritual ngereh bak antitesa dari perilaku instan, ulah bablas yang menjangkiti kehidupan sosial kita. Proses sebagai sebuah kesadaran perjuangan, sering dihindari, sudah biasa ditelikung, bahkan secara masif diusung demi menggapai tujuan yang diidamkan, apakah itu impian buaian hedonis-material, bergagah gelar-gelar, nikmat gengsi jabatan hingga kebanggaan kuasa politik.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN