Sanggar Seni Sekar Hati saat mementaskan tembang girang berjudul "Semara Geni" di ajang PKB Ke-40. (BP/rin)

Oleh Suwanto

Sebagai bangsa yang berbudaya luhur, tentu kita mempunyai banyak cara menyemai, memupuk, dan mengembangkan pendidikan karakter dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya, melalui budaya lokal. Budaya lokal sebagai salah satu warisan budaya (heritage) yang sarat dengan nilai-nilai karakter sudah sepatutnya dilestarikan oleh bangsa ini, lebih-lebih oleh generasi mudanya.

Tetapi dewasa ini rasa-rasanya mereka banyak yang tak tertarik pada budaya lokalnya sendiri. Mereka malah justru lebih suka budaya luar yang belum tentu selaras dengan jati diri bangsa kita. Bahkan, beberapa budaya asing malah bisa memicu tindakan negatif dan dekadensi moral generasi muda.

Masalah dekadensi moral pelajar di negeri ini menjadi problem serius yang tak kunjung selesai. Bahkan, dari hari ke hari malah justru semakin menjadi-jadi. Entah pelajar sebagai korban atau sebagai pelakunya. Banyak kasus seperti pergaulan bebas, kekerasan, minuman keras oplosan, narkoba, dan tindak kriminalitas lain yang melibatkan generasi muda.

Sementara di sisi lain, terdapat suatu gejala dewasa ini bahwa budaya lokal eksistensinya mulai terjepit dengan derasnya serbuan budaya asing. Di dalam arus besar globalisasi, terdapat lajur kilat budaya global dalam skala masif yang mendorong penyeragaman kebudayaan yang berkiblat pada pop-culture.

Baca juga:  SYC, Siapkan Generasi Cerdas Spiritual

Budaya tersebut di antaranya fashion dan konsumerisme. Dan situasi miris manakala generasi muda berbondong-bondong untuk mengadopsinya. Bersamaan itu pula, mereka malah justru meninggalkan budaya lokal sendiri. Mereka tak sadar, pola perilaku negatif tersebut menjadikan identitas bangsa ini semakin pudar. Dan akan sangat berbahaya jika terus dibiarkan.

Melihat fenomena memprihatinkan tersebut sudah saatnya dilakukan revitalisasi dengan menjadikan budaya lokal sebagai prioritas pembangunan mental generasi muda. Sebab, terdapat gejala bahwa dewasa ini kebudayaan lokal kehilangan citra dan karismanya di kalangan generasi muda.

Begitu juga dolanan anak mulai ditinggalkan oleh anak-anak. Perlahan-lahan permainan tradisional ini mulai tergantikan oleh permainan modern yang sejatinya dangkal karena dibuat untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Berangkat dari keprihatinan inilah sudah waktunya budaya lokal ini kita revitalisasi dan diintegrasikan dengan pendidikan dalam wadah pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Konsep seperti ini dapat diterapkan di lingkungan pergaulan atau permainan.

Baca juga:  Tantangan Generasi Produktif di Masa Pandemi

Tentu banyak budaya lokal yang bisa diinternalisasikan dalam rangka pendidikan karakter. Jika kita kaji tembang tradisional, contohnya macapat, kita bisa menggali nilai-nilai karakternya. Tembang Kinanthi punya karakter gembira dan cinta kasih, dipakai untuk menyampaikan piwulang.

Pucung berkarakter menggemaskan, digunakan untuk menyampaikan hal lucu. Mijil memiliki karakter imbauan, cocok sebagai nasihat. Sinom mengandung karakter lincah, cocok untuk pendidikan.

Tembang asmarandana banyak mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan. Demikian juga lagu macapat lain seperti maskumambang, pangkur, dhandhanggula, durma, gambuh, megatruh yang juga sarat nilai-nilai dengan karakter.

Berbagai macam permainan tradisional juga sarat pesan moral. Misalnya, permainan jamuran mempunyai pesan untuk kompak dan menaati segala peraturan. Demikian juga boi-boian yang mengajarkan kerja sama dalam satu tim.

Dolanan enggrang punya pesan moral ulet dan bekerja keras dalam belajar. Sosialisasi anak bisa dikembangkan melalui permainan dingkil oglak-aglik. Tentu masih banyak lagi permainan yang mempunyai nilai-nilai karakter. Permainan tersebut dapat dijadikan media pembelajaran/permainan edukatif untuk memupuk karakter.

Baca juga:  Mengeksplorasi Lagu Perjuangan untuk bela Negara

Berdasarkan berbagai uraian mengenai pendidikan karakter berbasis budaya lokal tersebut, tentu konsep-konsep tersebut perlu diterapkan dalam pendidikan baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun tempat bermain. Supaya budaya lokal semakin digemari generasi muda, maka dibutuhkan kemasan ulang atau transformasi makna budaya lokal dari tradisionalisme ke tradisionalitas, dari romantisme historis menjadi aktualitas historis.

Bisa juga dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal yang di situ dikelakkan nilai-nilai karakter berbagai budaya lokal. Warisan budaya seperti batik dan wayang kulit juga cocok digunakan sebagai media pembelajaran.

Transformasi budaya lokal ini tentu tidaklah mengikis nilai-nilai dasar budaya itu sendiri, tetapi merupakan strategi dalam upaya budaya lokal tetap eksistensinya serta diminati kalangan masyarakat, lebih khususnya bagi para generasi mudanya.

Harapannya melalui pendidikan karakter budaya lokal, bangsa ini menjadi bangsa yang berkarakter unggul dan tetap cinta terhadap budaya lokalnya sendiri sehingga keberadaannya tetap dapat dilestarikan serta problem dekadensi karakter dapat teratasi.

Penulis, peneliti di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Negeri Yogyakarta

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *