DENPASAR, BALIPOST.com – Produk tembakau alternatif, terutama rokok elektrik dari tahun ke tahun makin banyak penggunanya di Bali. Walaupun pada tahun lalu pemerintah akhirnya mengeluarkan peraturan tentang pengenaan cukai terhadap produk ini, peraturan lainnya terkait produk ini belum diatur.

Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2017, Nomor 66, 67 dan 68 Tahun 2018 tentang Cukai Produk Tembakau Kategori HPTL. Namun, aturan tegas terkait kandungan dalam cairan rokok elektrik, bisnisnya, maupun peredarannya di masyarakat belum ada peraturannya. Pun dengan produk rokok alternatif lainnya, seperti produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar (heat-not-burn) dan tembakau kunyah maupun tempel.

Berdasarkan kajian terhadap 68 negara, 22 negara mengatur peredaran rokok elektrik menggunakan aturan yang sudah ada, 25 negara membuat aturan baru, 7 negara mengubah aturan yang sudah ada, dan 14 negara mengombinasikan antara aturan baru, perubahan, dan aturan yang sudah ada.

Menurut apoteker yang juga dosen Universitas Udayana Dr.rer.nat. I Made Agus Gelgel Wirasuta, M.Si., perlu ada regulasi yang mengatur terkait tembakau alternatif ini, baik regulasi baru atau memperbarui regulasi yang sudah ada. “Regulasi yang ada belum antivatif mengatur perkembangan rokok dan tembakau,” ujarnya Jumat (19/4).

Baca juga:  BNNP Limpahkan Tiga Tersangka Perkara Narkoba

Ia mengutarakan rokok elektronik maupun tembakau alternatif tidak melalui proses pembakaran tapi pemanasan. Proses pemanasan ini merupakan proses pemanasan cairan kimia yang membentuk aerosol yang terlihat seperti kabut asap. “Kandungan utamanya adalah glicol atau gliserin,” imbuhnya.

Terkait perlunya peraturan yang jelas untuk mengatur produk tembakau alternatif ini, dalam sebuah Bedah Buku “Polemik Rokok Konvensional dan Potensi Produk Tembakau Alternatif di Indonesia” di Jakarta, Kamis (20/12/2018), Profesor Antropologi Budaya King Fadh University of Petroleum and Minerals, Sumanto Al Qurtuby mengatakan produk tembakau alternatif di Indonesia tergolong HPTL dan belum diatur secara khusus. “Produk tembakau alternatif memiliki perbedaan dari rokok konvensional baik dari sisi potensi risiko kesehatan hingga kontribusi bagi negara. Sehingga, penanganan regulasi yang diterapkan pemerintah diharapkan juga berbeda pula,” kata Sumanto.

Dia menjelaskan sejumlah ahli dan ilmuwan melalui berbagai riset telah menyampaikan perbedaan mendasar antara HPTL dengan rokok konvensional. Salah satu contohnya adalah bahwa pada produk HPTL tidak terdapat proses pembakaran yang memproduksi zat TAR dan karbon monoksida. Kedua zat tersebut membahayakan kesehatan tubuh.

Baca juga:  Penyelundupan Ribuan Ekstasi Ditangkap di Bandara

Lembaga terpercaya seperti Public Health England (Inggris), sebuah badan kesehatan independen di bawah Kementerian Kesehatan Inggris dalam risetnya menyatakan produk tembakau alternatif yang dipanaskan (bukan dibakar) mampu menekan atau menurunkan risiko kesehatan hingga 95 persen. Hasil riset Food and Drug Administration Amerika Serikat serta Federal Institute for Risk Assessment (Jerman) juga menemukan hasil yang hampir sama.

Secara umum berbagai macam jenis produk HPTL seperti jenis heat-not-burn dan rokok elektrik memiliki persamaan antara lain keduanya memiliki risiko kesehatan lebih rendah, berasal dari daun tembakau, dan memproduksi uap bukan asap hasil pembakaran. Dengan kata lain, kedua produk ini memakai tembakau sebagai komponen utama.

Namun, rokok elektrik berbeda dengan heat-not-burn. Kandungan nikotin pada cairan rokok elektrik diperoleh dari ekstraksi daun tembakau secara sintetis serta dipakai dengan cara memanaskan dan menguapkan cairan nikotin (liquid). Sementara produk heat-not-burn mengandung komposisi daun tembakau yang diolah agar kompatibel dengan alat pemanas sebagai medium memanaskan batang tembakau.

Sumanto menjelaskan pemerintah perlu menerapkan pendekatan berbeda untuk menurunkan tingkat prevalensi perokok di Indonesia yang masih mencapai 50 juta orang pada 2016. Pemerintah dapat belajar dari berbagai negara maju di dunia dalam menurunkan prevalensi merokok.

Baca juga:  Perlunya Sosialisasi Perda Desa Adat

Selain itu, keberadaan produk tembakau alternatif juga berpotensi untuk mengembangkan diversifikasi produk tembakau yang inovatif, rendah risiko dan profitable terutama untuk memanfaatkan produk tembakau lokal di Indonesia. Produksi cairan rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan Dapat melibatkan petani tembakau lokal di Indonesia sebagai mitra kerja yang dapat berdampak baik bagi produsen, petani tembakau, konsumen dan pemerintah khususnya kesejahteraan petani tembakau lokal

Sumanto menambahkan, prevalensi perokok telah terbukti menurun di berbagai negara maju seperti Inggris dan Jepang yang menerapkan pendekatan pengurangan risiko pada aktivitas merokok (harm reduction). Adapun di Indonesia, pendekatan yang dilakukan masih bersifat konvensional.

Selama ini berbagai aturan dan program terkait tembakau di Indonesia lebih banyak bernuansa mengancam atau menakut-nakuti perokok dibandingkan memberikan jalan keluar. Padahal, pemerintah dapat memberikan jalan keluar berupa kebijakan yang mendorong produsen rokok memproduksi aneka produk tembakau alternatif yang mampu mengurangi dampak negatif rokok. “Ini salah satu aspek yang belum terlihat dari aturan dan kebijakan anti rokok di Indonesia,” kata Sumanto. (kmb/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *