Suasana lalu lintas penerbangan di Bandara Ngurah Rai. (BP/dok)

Oleh GPB Suka Arjawa

Tragedi kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 sangat memukul bangsa Indonesia. Peristiwa ini jelas menyedihkan karena beberapa tahun sebelumnya maskapai ini juga pernah mengalami kecelakaan di sisi Bandara Ngurah Rai. Saat itu, seluruh penumpang selamat karena pesawat terhempas di laut.

Sejak tahun 2014, hampir setiap tahun terjadi kecelakaan pesawat udara di Indonesia. Akan tetapi dalam skala Asia, ternyata satu sumber menyebutkan bahwa secara statistik jumlah kecelakaan pesawat paling banyak justru terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1945 ada 99 kecelakaan fatal terjadi. Tentu itu akan menjadi pelajaran bagi kuasa penerbangan di Indonesia untuk memperbaiki diri.

Dalam perjalanan transportasi, pesawat udara merupakan moda paling aman dan nyaman. Jika sebelumnya hal itu dialamatkan pada kereta api, kini pesawat terbang merupakan moda perjalanan paling aman. Ini terkait dengan teknologi paling mutakhir yang dipakai oleh pesawat udara terbaru.

Dengan demikian, kecelakaan yang terjadi di Indonesia ini pasti menjadi antiklimaks terhadap pernyataan di atas. Di tengah predikat paling aman sebagai mode transportasi, kecelakaan pesawat yang terjadi di Indonesia, akan membuat negara kita menjadi sorotan tajam.

Jadi, pantaslah jika dalam waktu singkat, pemerintah Australia segera memberikan peringatan kepada warganya untuk tidak memakai Lion Air sebagai alat tumpangan mereka. Ini pasti terkait dengan fakta yang antiklimaks tadi.

Secara logika, jelas kemutakhiran teknologi pesawat terbang tersebut merupakan ungkapan dari upaya menyiasati titik fatal bahaya dari risiko penerbangan tersebut, tantangan untuk menghindari bahaya di udara, tantangan untuk menyelamatkan kehidupan manusia dan sudah tentu pada akhirnya adalah penghargaan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Jadi, manusia ditantang untuk berinovasi demi menyelamatkan kehidupan itu sendiri. Dan di tengah tantangan tersebut, wilayah udara (angkasa) merupakan ruang yang sangat luas, lapang dan sangat indah untuk dijelajahi.

Baca juga:  Turun, Jumlah Keberangkatan Angkutan Udara dari Bandara Ngurah Rai

Manusia memerlukan hal ini untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Maka, jawaban untuk menikmati keindahan ruang udara dengan rasa nyaman itu, tidak lain adalah dengan teknologi paling baru dan paling canggih terhadap pesawat udara. Tentu saja juga menjangkau wilayah lain akan jauh lebih singkat melalui perjalanan udara.

Keluasan dan kelapangan wilayah udara ini memungkinkan moda transportasi untuk melaju dengan kecepatan yang tinggi. Itulah pesawat udara yang menjadi jawabannya, dan teknologi paling baru menjadi jawaban untuk kenyamanannya.

Maka, siapa pun yang menjadi penggerak moda transportasi udara itu adalah orang-orang yang tidak boleh sembarangan. Pilot adalah orang-orang yang benar-benar pintar dan sangat adaptif dengan kebaruan teknologi. Jelas orang yang gaptek tidak boleh menjadi pilot. Pembaruan teknologi yang terjadi pada pesawat, menuntut para pilot untuk selalu memperbarui diri terhadap teknologi penerbangan.

Jadi, jumlah jam terbang yang dipakai sebagai ukuran sekarang, haruslah ditambahi lagi dengan fakta kemampuan untuk adaptif terhadap teknologi terbaru. Sudah tentu pilot harus secara formal ikut “kursus-kursus” terbaru dengan sertifikat terbaru tentang kemampuan ini.

Pilot yang menyukai panorama indahnya angkasa, indahnya memandang daratan dari atas, indahnya pemandangan deretan gunung, laut dan lika-liku sungai di daratan, akan membuat pekerjaan sebagai pilot itu menyatu dengan segala perkembangan teknologi kebaruan yang ada. Tentu saja hal itu juga menyangkut aspek-aspek lain tentang tugas-tugasnya sebagai pilot.

Baca juga:  Budaya Pamer di Medsos

Akan tetapi, bukan hanya pilot. Kebaruan teknologi tersebut juga haruslah dipahami oleh petugas-petugas di darat dan para ahli mesin yang ada di darat. Dengan kebaruan teknologi tersebut, pekerjaan teknisi di darat tidak boleh main-main. Ia harus berprinsip pesawat di hadapannya harus laik terbang dan terjamin keselamatannya.

Dengan itu, para teknisi ini akan mampu bekerja dengan konsentrasi tinggi, tidak dilanda oleh kebosanan rutinitas, sesuatu yang sangat membahayakan bagi teknisi pesawat terbang. Sering terlihat bahwa teknisi di darat akan segera memeriksa pesawat begitu pesawat ini parkir.

Pekerjaan ini justru sangat penting untuk melihat kerusakan paling kecil dari pesawat. Kerusakan seperti ini akan berpotensi menjadi besar jika tidak diperhatikan. Dan yang paling penting adalah maskapai penerbangan (perusahaan) yang mengoperasikan armada tersebut. Teknologi pesawat terbang modern sangatlah canggih.

Dengan kecanggihan tersebut sudah pasti harga pesawat sangatlah tinggi yang pasti berpengaruh terhadap pembiayaan membentuk perusahan penerbangan. Apalagi dengan armada yang mempunyai jumlah unit pesawat terbang banyak. Dari titik inilah kemudian menjadi terlihat kontroversi jika di tengah pesawat yang harganya mahal dan teknologi modern tersebut, ada armada penerbangan yang berbiaya murah.

Banyak pertanyaan di masyarakat apakah armada berbiaya murah itu dimungkinkan? Apakah untuk menyiasati kemurahan biaya penerbaangan itu kemudian pesawat jarang diservis? Pertanyaan-pertanyaan awam ini nyelekit, tetapi perlu mendapat penjelasan dari perusahan yang mengoperasikan penerbanagaan berbiaya murah.

Baca juga:  La Nina dan Tata Ruang Bali

Tentu akan menyalahi norma, etika dan prosedur kalau pesawat tidak mendapat servis yang selayaknya. Sebab, seperti yang disebutkan tadi, kecanggihan teknologi itu harus diimbangi dengan perawatan yang tinggi, dan membutuhkan teknologi yang berkemampuan tinggi juga.

Lantas bagaimana dengan berbagai delay yang dialami calon penumpang, apakah ini berkaitan dengan pemaksaan penggunaan pesawat sehingga beropersi sampai sepuluh jam sehari yang membuat penumpang di Denpasar misalnya, harus menunggu pesawat dari Makassar untuk dapat terbang ke Jakarta. Pertanyaan-pertanyaan awam ini wajar muncul karena tidak ada penjelasan mengapa harus delay, kecuali dengan alasan operasional atau teknis.

Kendati telah mencoreng nama perusahaan penerbangan berbiaya murah, tetapi kecelakaan ini haruslah menjadi pelajaran yang sesungguhnya perusahaan untuk memperbaiki kinerjanya. Akan tetapi, Indonesia benar-benar memerlukan armada penerbangan berbiaya murah.

Luasnya wilayah negara Indonesia dan kemampuan masyarakat masih belum sepenuhnya dapat dikatakan sebagai masyarakat makmur, memang memerlukan angkutan pesawat dengan berbiaya terjangkau. Secara sosial, pada konteks ini, armada penerbangan berbiaya murah ini bukan saja membantu masyarakat untuk menjangkau wilayah lain tetapi memberikan kesempatan untuk memahami keragaman Indonesia.

Dan, pengetahuan itulah yang dipakai untuk membantu memahami persatuan Indonesia. Hanya, janganlah kemudian armada berbiaya murah ini dikelola dengan manajemen murahan.

Penulis adalah staf pengajar Sosiologi FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *