Petani menjemur rumput laut untuk dijual. (BP/sos)

SEMARAPURA, BALIPOST.com – Pertanian rumput laut di Dusun Semaya, Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida, Klungkung yang sempat “mati”, mulai bangkit. Sejak beberapa bulan lalu petani melakukan budidaya. Hanya saja jumlahnya masih sedikit.

Aktivitas pertanian rumput laut salah satunya dilakoni Ni Nengah Sukarti. Perempuan yang sudah berumur ini mengatakan rumput laut pernah menjadi primadona sebagian besar masyarakat itu sempat nihil. Bukan sengaja ditinggalkan, namun akibat cuaca buruk.

Kualitas panen tak maksimal. Banyak yang membusuk. Namun, sejak tiga bulan lalu, cuaca mulai bersahabat. “Karena cuaca sudah mendukung, jadi mencoba lagi,” tuturnya.

Baca juga:  Stroke Tak Kunjung Sembuh, Arsa Nekat Gantung Diri

Hanya saja, kata dia, jumlahnya tak sebanyak dulu. Baru beberapa petak. Pemicunya tak sebatas khawatir terjadinya gagal panen, tetapi juga karena keterbatasan bibit. “Kalau dulu yang menanam sangat banyak. Sekarang sedikit. Ini untuk menambah hasil di kebun,” ucapnya.

Disampaikan lebih lanjut, petani sudah sempat panen. Kualitasnya cukup baik. Demikian juga untuk harga jualnya, kisaran Rp 8000 per kilo untuk yang kering. “Harga cukup bagus. Dicari pengepul,” imbuhnya.

Baca juga:  PLN Sabet Penghargaan "The Best SOE in Digital Service Transformation 2022"

Perbekel Suana, I Putu Rai Sudarta mengatakan bibit yang dibudidayakan petani masih sisa rumput laut sebelumnya. Tentu dari sisi kualitas kurang baik. “Sekarang petani masih terkendala bibit. Waktu ini dinas terkait ada turun. Mudah-mudahan bisa mendapat perhatian,” ucapnya.

Sektor pariwisata di desa ini semakin berkembang. Pertanian rumput laut dinilai bisa menjadi bagian untuk mempermanis. Supaya tak kembali “mati”, perlu ada sentuhan ekonomi kreatif. “Rumput laut bisa diolah menjadi produk lain yang harga jualnya lebih menjanjikan. Misalnya dodol. Ini sangat baik jika diterapkan,” pungkasnya.

Baca juga:  Ini Alasan Rumjab Pimpinan DPRD Jembrana Dikosongkan

Selain Suana, rumput laut sejatinya sempat banyak dibudidayakan di Desa Ped, Batununggul dan Lembongan. Setahun belakangan sudah habis. Pemicunya bukan hanya faktor cuaca. Tetapi juga pariwisata. Petani banyak yang beralih ke sektor tersebut. (Sosiawan/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *