TABANAN, BALIPOST.com – Pada tahun 1995-an merupakan masa kejayaan Kabupaten Tabanan dalam hal usaha ternak ayam petelur. Dengan jumlah populasi mencapai tiga juta ekor, Tabanan menjadi salah satu sentra produksi ayam petelur di Bali.
Namun kini, populasi ini menurun drastis. Populasi ayam petelur di Tabanan saat ini sekitar satu juta ekor.
Salah seorang peternak ayam petelur di Desa Buruan, Kabupaten Tabanan, Gede Darma Susila, Selasa (3/4) mengungkapkan, selain Tabanan, kabupaten lain di Bali yang menjadi sentra ayam petelur adalah Kabupaten Bangli dan Karangasem. “Penurunan populasi ayam petelur tidak hanya di Tabanan tetapi di dua sentra lainnya yaitu Bangli dan Karangasem,” ujarnya.
Susila yang juga Ketua Koordinator Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (PINSAR) Layer Bali, Kabupaten Tabanan, ini menyebutkan penurunan populasi ayam petelur memang tidak terjadi dalam waktu singkat. Namun terjadi penurunan dari tahun ke tahun.
Adapun penyebab turunnya populasi ayam petelur di Bali ini dipengaruhi oleh tingginya fluktuasi harga pada telur ayam di pasaran. Ia melanjutkan kesuksesan ternak ayam petelur di tahun 1995-an dikarenakan pada masa itu kurs rupiah cenderung stabil terhadap
dollar.
Stabilnya kurs rupiah ini membuat biaya produksi dan harga jual pun ikut stabil. Namun, saat ini nilai kurs rupiah dan dolar mengalami fluktuasi sehingga berdampak pada tingginya pergerakan naik turunnya harga jual atau produksi di pasaran.
Tingginya pergerakan harga telur ayam bisa dilihat dalam kurun waktu 2017, harga telur ayam ini sempat menyentuh harga hingga Rp 1.300 per butir dan turun hingga mencapai harga Rp 900 per butir. “Penurunan harga ini jauh di bawah kisaran Break Event Point
(BEP) usaha ternak ayam petelur yang berada dikisaran Rp 1.100 per butir,” ujarnya.
Tingginya fluktuasi ini membuat sejumlah peternak harus berpikir dua kali dalam melakoni usaha maupun menambah populasi ayam petelur dari sebelumnya. Kondisi tersebut kemudian diperparah lagi dengan ancaman serangan penyakit pada hewan.
Selain itu stabilnya harga tersebut juga disebabkan oleh ada kecendrungan para peternak ayam petelur di Bali menjaga harga agar stabil. Katanya, saat ini peternak tidak berani untuk mengangkat harga di luar kendali.
Sebab, bila harga di luar kendali di tengah menurunnya produksi di tingkat peternak, produksi telur ayam dari luar Bali akan masuk ke Bali. Dampaknya, itu akan menghancurkan harga telur ayam di Bali. “Peternak ayam petelur ini memang cenderung berhati-hati dalam menyikapi harga sekarang ini. Mereka (peternak, red) lebih memilih menjaga harga agar stabil, ketimbang menaikkan harga namun dampaknya malah membuat telur antarpulau membanjiri Bali nantinya,” tegasnya. (Wira Sanjiwani/balipost)