NEGARA, BALIPOST.com – Selama beberapa tahun belakangan ini, sampah-sampah kiriman yang mencemari laut di perairan Bali menjadi masalah. Bila tidak ditangani secara menyeluruh, dipastikan akan menjadi masalah besar ke depan.

Salah satu penyumbang terbesar adalah sampah dari hulu yang mengalir melalui aliran sungai, baik sampah alami maupun sampah rumah tangga. Sejatinya kunci utama dalam mengatasi masalah ini adalah menanamkan perilaku masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai.

Sungai Ijogading yang membelah Kota Negara juga tak lepas dari permasalahan sampah ini. Padahal di aliran sungai yang menjadi pertemuan antara Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Perancak dan DAS Tukad Ijogading ini melintasi kawasan hutan Mangrove.

Baca juga:  Ini, Cara Lima Srikandi E-Sport di Bali Berdonasi bagi Pekerja Terdampak COVID-19

Bukan saja laut yang tercemar, tetapi juga kawasan Mangrove yang menjadi habitat hewan rawa-rawa. Kondisi tersebut mengundang sejumlah pihak untuk mengatasi hal tersebut.

Salah satunya upaya yang dilakukan Conservation International (CI) Indonesia bersama Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Budeng sejak setahun ini. Berawal dari kekhawatiran sampah-sampah yang banyak ditemukan di kawasan hutan mangrove Estuari Perancak. Dengan melibatkan masyarakat, mereka memasang penjerat sampah di aliran Tukad Ijogading yang disebut Mangrove Bin.

Alat semacam bak mengapung ini berfungsi menampung sampah dari hulu untuk mengurangi volume sampah ke Mangrove. “Selama hampir tiga bulan percobaan, ada banyak hal yang kami dapati. Salah satunya jumlah sampah yang berhasil dijerat menggunakan alat ini. Disamping itu juga terkait kualitas sungai dari sejumlah parameter,” ujar Koordinator CI, Hanggar Prasetio, Jumat (26/1).

Baca juga:  Siswa SMPN 2 Tembuku Olah Sampah Jadi Produk Kerajinan 

Untuk volume sampah dari uji coba selama tiga bulan, terdiri dari sampah alami 544,26 kilogram dan sampah rumah tangga mencapai 230 kilogram. Selama tiga bulan itu, dilakukan pemantauan dan pengambilan sampah melibatkan masyarakat. Dan saat ini, alat yang menggunakan pelampung sederhana ini disempurnakan agar bisa menampung sampah di sungai, baik saat air laut pasang maupun surut.

Estuari Perancak dengan kawasan hutan mangrove-nya saat ini menjadi sangat penting. Kendati  luas areal Mangrove berkembang secara alami hingga sembilan hektar sejak tahun 2014, namun sampah menjadi masalah utama. Sebab ketika areal bakau dicemari sampah, akan berdampak pada pertumbuhan Mangrove.

Baca juga:  Sosialisasi Pengelolaan Sumber Air, Balai Arkeologi Gelar Rumah Peradaban Badung

Sementara itu, Dr. Agung Yunanto dari BPOL menyebut permasalahan sampah di perairan ini merupakan masalah global termasuk di Bali pada khususnya. Dari penelitian, dampaknya sangat besar terutama bagi pariwisata di Bali, misalnya di Pantai Kuta. Sebenarnya, sampah itu bukan tidak mungkin berasal dari Jembrana terbawa arus hingga ke Kuta. (Surya Dharma/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *