Ketua Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati. (BP/may)
DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah sedang gencar membangun homestay di Indonesia untuk mempercepat pemerataan pembangunan di sektor pariwisata. Bahkan hingga 2019, ditargetkan 100.000 homestay terbangun di Indonesia. Seiring berkembangnya homestay, di Bali justru dimanfaatkan dan disalahgunakan pihak lain. Pembangunan homestay yang bertujuan dapat menyejahterakan masyarakat lokal, justru dimanfaatkan orang luar (orang asing) untuk mengambil peluang ini.

“Apa yang kita lihat sekarang banyak orang asing yang diam-diam mengontrak rumah, apa itu di daerah perkotaan, apa itu di daerah Badung juga banyak. Dia kontrak tahunan, lima tahun, dia perbaiki sedikit, dia taruh orang disana tinggal di sana sebagai pemilik rumah. Ini yang mematikan usaha kita, menjadi pesaing yang tidak legal. Mereka sudah pasti luput dari pajak dan kewajiban-kewajiban kepada pemerintah juga banyak tidak dipenuhi,” kata Ketua Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Provinsi Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.

Dengan tinggal di homestay diharapkan tamu dapat melihat dan belajar aktivitas dan kehidupan orang Bali. Bukan karena tinggal di homestay lebih murah. Sedangkan hotel-hotel yang mendatangkan pajak ini nantinya akan mati. “Jadi kita tidak akan mendapatkan benefit apa-apa, ” ujarnya. Menurutnya homestay merupakan program unggulan dari Kementerian Pariwisata untuk mendorong percepatan pemerataan pembangunan di sektor pariwisata.

Baca juga:  Simpan Ratusan Gram Narkoba, Oknum Mahasiswa Ditangkap

“Ini suatu strategi yang sangat luar biasa. Lahirnya homestay di Indonesia ini cikal bakalnya ada di Bali. Cuma dalam implementasinya kita perlu lebih hati-hati dan mencermati, karena apa yang kita lihat sekarang ada orang asing ngontrak rumah, kemudian dipoles sedikit dijadikan homestay. Tentu ini tidak hanya merugikan pengusaha homestay kita di Bali tapi juga hotel dan pemerintah,” ungkapnya.

Menurutnya, roh dan arah homestay itu harus ditegaskan. Orang ingin tinggal di homestay harapannya adalah agar dapat mengetahui kehidupan masyarakat Bali. Sehingga akan menguatkan destinasi Bali sebagai destinasi budaya. “Dia tinggal di rumah penduduk, dia lihat bagaimana kehidupan masyarakat di sana, misalnya membuat upacara dan lain sebagainya. Kalau ini tujuannya bagus, sesuai dengan harapan kita,” bebernya.

Tapi jika tujuannya untuk mendapatkan harga murah, pihaknya agak khawatir ini akan mematikan hotel-hotel besar dan memperkuat eksistensi Bali sebagai destinasi murahan. “Ini yang kita hindari. Jangan sampai orang tinggal di homestay karena murah. Bila perlu homestay itu lebih mahal daripada hotel, karena tidak hanya dapat tidur tapi dia juga dapat pelajaran tentang budaya Bali,” imbuhnya.

Baca juga:  Kunci Bertahan, Usaha Ritel Harus Mampu Ikuti Tren

Maka dari itu ia berharap peran pemerintah untuk men-zonasi, bagaimana mensyaratkan pembangunan homestay. Sebab, homestay sekarang jumlah kamarnya sudah melanggar perda. “Kamar homestay banyak-banyak, padahal kamar homestay itu adalah akomodasi yang tamunya tinggal di rumah pemiliknya dengan jumlah kamar tidak lebih dari 5 atau 6. Ternyata sekarang ada yang 20 punya homestay, sehingga konsepnya bukan homestay lagi tapi hotel melati,” selorohnya.

Sementara dari segi perijinan, dari hasil penelitian mahasiswa STP yang melakukan penelitian di Gianyar, Badung dan Karangsem, homestay yang paling banyak mengurus ijinnya ada di Kabupaten Gianyar, yaitu 300-400 homestay.

Sedangkan jumlah homestay terbanyak ada di Kabupaten Badung. Di Bali ia memprediksi ada sekitar 3.000 homestay baik yang legal dan tidak legal. Terungkap pada penelitian itu, homestay tidak berijin karena berada di atas tanah ayahan desa, sehingga sulit mengurus ijinnya.

Baca juga:  Kemenpar Unjuk Kekayaan Bahari di Marine Diving Fair Tokyo

“Sebenarnya itu bisa dibicarakan sebab disini tidak dijelaskan masalah status dan tidak perlu homestay berbadan hukum PT. Jadi perlu tanda daftar usaha, dia tidak harus berada di kawasan wisata, dia boleh berada di tengah-tengah kawasan penduduk. Asalkan kamarnya tidak banyak, maksimal  5,” urainya.

Namun ia menegaskan, spiritnya harusnya dimiliki orang lokal, agar tamu bisa ikut belajar budaya. Homestay banyak mendapat perlindungan dari pemerintah karena banyak diasumsikan milik masyarakat. “Walaupun mereka berpenghasilan, toh hasilnya dipakai untuk menghidupkan budaya. Jadi kita masih banyak memberi kelonggaran kepada homestay tapi kami juga tidak ingin homestay ini disalahgunakan oleh pihak-pihak asing,” pungkasnya.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, AA. Gede Yuniartha Putra, SH., MH., mengatakan, saat ini pihaknya tidak menargetkan pembangunan homestay di Bali karena homestay di Bali sudah cukuo banyak, begitu juga hotel.(citta maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *