
DENPASAR, BALIPOST.com – DPRD Provinsi Bali menggelar Rapat Paripurna ke-20 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026, di Ruang Rapat Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bal, Senin (29/12). Rapat Paripurna ini menetapkan 6 Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) menjadi Peraturan Daerah (Perda).
Ada pun rincian Ranperda yang ditetapkan adalah tentang Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; Pelindungan Pantai dan Sempadan Pantai; Pendirian Perumda Kerta Bhawana Sanjiwani; Perubahan Keempat Perda Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah; Pengendalian Toko Modern Berjejaring; serta Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan secara Nominee.
Hak Penyandang Disabilitas
Soal Ranperda tentang Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, Koordinator Pembahas I Nyoman Suwirta menjelaskan peraturan ini disusun sebagai payung hukum daerah untuk menjamin kepastian, keadilan, dan keberlanjutan kebijakan dalam pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Bali. Penyusunannya telah melalui proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, rapat dengar pendapat dengan perangkat daerah terkait, pelibatan organisasi penyandang disabilitas, konsultasi dengan Komisi Nasional Disabilitas Kementerian Sosial RI, studi lapangan ke Desa Bengkala, Kabupaten Buleleng, serta pembahasan internal DPRD Provinsi Bali.
Secara teknis, Ranperda ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Struktur Ranperda terdiri atas XI Bab dan 94 Pasal, yang mengatur berbagai aspek perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas .
Ruang lingkup pengaturan mencakup bidang keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan dan kewirausahaan, kesehatan, politik, keagamaan dan adat, olahraga, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, aksesibilitas, pelayanan publik, perlindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendataan, komunikasi dan informasi, perlindungan perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta partisipasi masyarakat .
Ranperda ini juga menegaskan kekhasan Bali, khususnya pada pengaturan yang menghormati kearifan lokal, nilai-nilai agama, dan adat istiadat. Selain itu, ditekankan pentingnya sistem pendataan penyandang disabilitas yang terintegrasi, valid, dan mutakhir sebagai dasar perumusan kebijakan yang tepat sasaran dan berkeadilan.
Sebagai tindak lanjut setelah penetapan menjadi Peraturan Daerah, DPRD Provinsi Bali merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi Bali segera menyusun dan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai aturan pelaksana, khususnya terkait pendataan penyandang disabilitas, pemberian bantuan, pemenuhan aksesibilitas, serta penyediaan alat bantu adaptif .
Melalui laporan akhir ini, DPRD Provinsi Bali berharap Raperda tentang Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dapat segera disetujui dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, sebagai bentuk komitmen daerah dalam mewujudkan Bali yang inklusif, berkeadilan, dan berkelanjutan bagi seluruh warganya.
Pelindungan Pantai dan Sempadan
Terkait Ranperda Pelindungan Pantai dan Sempadan Pantai untuk Kegiatan Upacara Adat, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal, Wakil Koordinator Pembahas, I Ketut Purnaya, S.Sos., mengatakan secara substantif bertujuan memberikan kepastian dan perlindungan hukum atas pemanfaatan kawasan pantai dan sempadan pantai bagi masyarakat lokal, khususnya untuk pelaksanaan upacara keagamaan, kegiatan adat, sosial, dan aktivitas ekonomi masyarakat.
Selama ini, akses masyarakat ke pantai dinilai semakin terbatas, bahkan kerap terjadi penutupan atau pembatasan aktivitas oleh pihak-pihak tertentu, di tengah berlangsungnya kegiatan keagamaan yang bersifat sakral dan penting.
DPRD Bali menegaskan bahwa pantai dan sempadan pantai merupakan wilayah strategis yang memiliki fungsi ritual, budaya, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat Bali. Oleh karena itu, pengaturan kawasan pesisir harus berpihak pada kepentingan masyarakat lokal serta menjaga keseimbangan antara pembangunan pariwisata dan pelestarian nilai adat, budaya, serta kearifan lokal.
Dalam proses penyusunannya, aturan ini telah dilaksanakan secara transparan dan partisipatif melalui berbagai tahapan, antara lain pelibatan masyarakat, forum diskusi dengan para pemangku kepentingan, rapat dengar pendapat dengan perangkat daerah terkait, konsultasi ke kementerian terkait, harmonisasi, hingga pembahasan internal DPRD Provinsi Bali .
Secara yuridis, Ranperda ini memenuhi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis, serta disusun sesuai dengan anatomi peraturan perundang-undangan daerah. Materi muatan Ranperda terdiri atas 7 Bab dan 17 Pasal, yang mengatur ketentuan umum, fungsi dan pemanfaatan pantai dan sempadan pantai, pembinaan dan pengawasan, sanksi administratif, peran serta masyarakat, pendanaan, serta ketentuan penutup.
Dengan disepakatinya Ranperda ini untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, DPRD Provinsi Bali berharap regulasi tersebut dapat memberikan jaminan perlindungan terhadap hak masyarakat lokal dalam memanfaatkan kawasan pantai dan sempadan pantai, sekaligus mencegah terjadinya konflik kepentingan di wilayah pesisir Bali.
Perumda Kertha Bhawana Sanjiwani
Sementara itu, terkait Ranperda Pendirian Perusahaan Umum Daerah Kerta Bhawana Sanjiwani (Perumda KBS), Agung Bagus Pratiksa Linggih selaku Koordinator Pembahasan mengatakan Raperda Pendirian Perumda KBS merupakan inisiatif strategis Pemerintah Provinsi Bali dalam rangka memperkuat pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan berkelanjutan lintas kabupaten/kota.
Pembentukan Perumda ini didorong oleh kebutuhan untuk menjamin ketersediaan air bersih bagi wilayah yang mengalami keterbatasan pasokan, sekaligus memastikan pengelolaan air tidak tumpang tindih dengan Perumda Air Minum (PDAM) yang telah ada di kabupaten/kota se-Bali .
Dalam perda tersebut diatur bahwa kegiatan usaha Perumda Kerta Bhawana Sanjiwani meliputi penyediaan air bersih, distribusi air bersih pada kawasan tertentu, pengolahan air limbah, serta usaha lain yang terkait. Pengembangan Perumda KBS dirancang melalui beberapa tahapan, mulai dari pembentukan badan usaha, pelaksanaan kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Ayung, hingga akuisisi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) pengelolaan air secara bertahap sesuai kemampuan perusahaan daerah.
Secara struktural, aturan tentang Pendirian Perumda KBS disusun sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan terdiri atas XIX Bab dan 92 Pasal. Materi muatan mencakup ketentuan umum, maksud dan tujuan pendirian, kegiatan usaha, permodalan, tarif jasa layanan, susunan organisasi dan tata kerja, pengelolaan pegawai, pengawasan, kerja sama, penggunaan laba, hingga ketentuan pembubaran dan kepailitan .
Dalam pembahasan juga disepakati ketentuan permodalan awal Perumda KBS sebesar Rp10 miliar sebagai setoran awal dari modal dasar Rp20 miliar, yang akan digunakan untuk mendukung operasional awal dan kerja sama dengan pihak ketiga. DPRD Bali menekankan pentingnya tata kelola perusahaan yang profesional, transparan, dan berorientasi pada prinsip Good Corporate Governance (GCG) .
Sebagai tindak lanjut, DPRD Provinsi Bali merekomendasikan agar Pemerintah Provinsi Bali segera menyusun Peraturan Gubernur sebagai aturan pelaksana setelah Raperda ini ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Selain itu, diperlukan koordinasi intensif dengan PDAM kabupaten/kota se-Bali serta Balai Wilayah Sungai Bali–Penida guna menjamin kelancaran operasional Perumda KBS ke depan.
Dengan dirampungkannya pembahasan ini, DPRD Provinsi Bali berharap Perumda Kerta Bhawana Sanjiwani dapat menjadi instrumen strategis daerah dalam menjamin ketahanan air, mendukung pelayanan publik, serta mendorong pembangunan Bali yang berkelanjutan.
Susunan Perangkat Daerah
Mengenai Ranperda Perubahan Keempat atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, I Nyoman Budiutama, selaku Koordinator Pembahas Raperda menegaskan bahwa perubahan Perda ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian struktur perangkat daerah, khususnya terkait penguatan sektor ekonomi kreatif yang selama ini telah berjalan sebagai subkegiatan pada Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Dijelaskan, sebelum terbentuknya Kementerian Ekonomi Kreatif di tingkat pusat, urusan ekonomi kreatif di Bali telah dilaksanakan melalui Dinas Pariwisata. Namun, terbitnya Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif Nomor 900.1.1-4976 Tahun 2024 dan Nomor SK/HK.01.02/MK-EK/2024 mengatur kriteria pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif tersendiri di daerah.
Terdapat lima syarat utama pembentukan Dinas Ekonomi Kreatif, yakni daerah dengan kategori fiskal tinggi, pemenuhan mandatory spending, belanja pegawai maksimal 30 persen, jaminan peningkatan PAD dan pertumbuhan ekonomi, serta kemampuan mengendalikan inflasi selama dua tahun terakhir. Berdasarkan evaluasi, Provinsi Bali baru memenuhi satu kriteria, yakni pengendalian inflasi pada kisaran 2,5 ± 1 persen.
Dengan kondisi tersebut, DPRD Bali bersama Pemerintah Provinsi Bali menyepakati ekonomi kreatif tetap dijalankan dalam struktur Dinas Pariwisata, melalui perubahan nomenklatur menjadi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Bali, tanpa membentuk organisasi perangkat daerah (OPD) baru.
Dalam proses pembahasan, DPRD Bali juga melakukan studi banding ke Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasilnya, meskipun DKJ telah memenuhi sebagian besar kriteria pembentukan OPD baru, pemerintah setempat memilih tidak membentuk Dinas Ekonomi Kreatif tersendiri dengan pertimbangan efisiensi anggaran. Sementara NTB belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam SKB tersebut.
Secara filosofis, perubahan nomenklatur ini dinilai sejalan dengan visi pembangunan Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” dan misi “Ekonomi Kerthi Bali”, yang menempatkan ekonomi kreatif sebagai pilar penting pembangunan daerah berbasis budaya dan keberlanjutan. Secara sosiologis, kebijakan ini mencerminkan realitas masyarakat Bali, di mana sektor pariwisata dan ekonomi kreatif saling terkait erat. Dari sisi yuridis, perubahan ini memiliki landasan hukum yang kuat sesuai ketentuan perundang-undangan nasional.
DPRD Provinsi Bali dalam laporannya juga menyampaikan sejumlah rekomendasi, antara lain agar Pemerintah Provinsi Bali segera menyampaikan tanggapan tertulis kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait penempatan ekonomi kreatif sebagai sub struktur pada Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota di Bali didorong menyesuaikan pembentukan perangkat daerahnya, serta melaksanakan 17 subsektor ekonomi kreatif sesuai ketetapan pemerintah pusat.
DPRD Bali juga merekomendasikan penyesuaian anggaran dan penempatan sumber daya manusia yang tepat guna mendukung pengembangan ekonomi kreatif, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian Bali berbasis budaya.
Dengan disampaikannya laporan akhir ini, DPRD Provinsi Bali menyatakan Ranperda tentang Perubahan Keempat atas Perda Nomor 10 Tahun 2016 siap untuk dilanjutkan ke tahap penetapan menjadi Peraturan Daerah.
Pengendalian Toko Modern Berjejaring
Soal Ranperda Pengendalian Toko Modern Berjejaring, Anak Agung Gede Agung Suyoga, S.H., M.Kn., selaku Koordinator Pembahas mengungkapkan bahwa pembentukan Perda tentang Pengendalian Toko Modern Berjejaring merupakan langkah strategis untuk menghadirkan kepastian hukum, sekaligus menjaga keseimbangan antara kepentingan investasi dan perlindungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pasar tradisional di Bali.
DPRD menjelaskan, proses penyusunan dan pembahasan Ranperda ini telah melalui tahapan sinkronisasi dan harmonisasi sesuai mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan. Seluruh norma dirumuskan dengan memperhatikan asas kejelasan norma, kesesuaian materi muatan, serta konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi agar tidak menimbulkan tumpang tindih maupun multitafsir dalam pelaksanaannya.
Dalam rangka pendalaman materi, DPRD Provinsi Bali juga melakukan studi komparasi ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun NTB belum memiliki Perda khusus terkait toko modern berjejaring, pola komunikasi dan koordinasi langsung antara pemerintah daerah dan pelaku usaha dinilai cukup efektif dalam menjaga keberlangsungan usaha lokal.
Praktik tersebut menjadi salah satu referensi dalam perumusan kebijakan pengendalian yang kontekstual bagi Provinsi Bali.
Secara substansi, Ranperda tentang Pengendalian Toko Modern Berjejaring ini terdiri atas 10 Bab dan 24 Pasal, yang mengatur antara lain ketentuan umum, penetapan zonasi, lokasi, jarak, dan jam operasional, perizinan, kemitraan, kewajiban pelaku usaha, ketenagakerjaan, sanksi administratif, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan, serta ketentuan penutup.
DPRD menegaskan bahwa pengaturan ini tidak dimaksudkan untuk mengendalikan toko kelontong berjejaring, mengingat belum tersedianya landasan normatif pada peraturan perundang-undangan di atasnya. Oleh karena itu, pengaturan terhadap toko kelontong berjejaring masih memerlukan kajian lanjutan sebelum diatur lebih lanjut dalam kebijakan daerah.
Ranperda ini disusun dengan landasan hukum yang kuat, antara lain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Perdagangan, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Provinsi Bali, serta sejumlah peraturan pemerintah dan peraturan menteri terkait perdagangan, waralaba, UMKM, dan produk hukum daerah.
Dalam rekomendasinya, DPRD Provinsi Bali meminta Pemerintah Provinsi Bali memastikan implementasi Perda ini berpihak pada perlindungan dan pemberdayaan UMKM serta pasar tradisional, khususnya melalui pengaturan zonasi, jarak, dan pembatasan toko modern berjejaring sesuai karakteristik wilayah. DPRD juga merekomendasikan agar pemerintah daerah mempertimbangkan moratorium sementara penerbitan izin toko modern berjejaring baru hingga Perda ini diimplementasikan secara efektif dan dievaluasi dampaknya.
Selain itu, DPRD mendorong pemerintah daerah mengedepankan pendekatan komunikasi dan pembinaan kepada pelaku usaha toko modern berjejaring guna menjaga iklim usaha yang kondusif serta menghindari gejolak sosial di masyarakat.
Dengan disampaikannya laporan akhir ini, DPRD Provinsi Bali menyatakan Ranperda tentang Pengendalian Toko Modern Berjejaring telah memenuhi persyaratan formil dan materiil untuk dilanjutkan ke tahap penetapan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali.
Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif
Sementara itu, terkait Ranperda Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan Secara Nominee, Agung Bagus Tri Candra Arka, S.E., selaku Koordinator Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan menegaskan bahwa penyusunan Ranperda ini merupakan langkah strategis dan mendesak untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan produktif pertanian, hortikultura, dan perkebunan yang terus mengalami degradasi setiap tahun, sekaligus mencegah praktik alih kepemilikan lahan secara nominee yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat dan keberlanjutan alam Bali.
Ranperda ini disusun melalui rangkaian proses panjang yang meliputi konsultasi, kunjungan kerja komparatif, rapat dengar pendapat dengan perangkat daerah terkait, harmonisasi regulasi, serta pembahasan intensif Panitia Khusus DPRD Provinsi Bali. Seluruh tahapan tersebut dilakukan untuk memastikan Ranperda memiliki kepastian hukum, relevan dengan kondisi faktual daerah, serta dapat diimplementasikan secara efektif.
Secara filosofis, Ranperda ini berlandaskan pada nilai-nilai Sat Kerthi, khususnya Jagat Kerthi, yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan kelestarian alam Bali. Pengaturan ini juga selaras dengan visi pembangunan daerah “Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana”, sebagai arah kebijakan pembangunan Bali yang berkelanjutan.
DPRD Bali menilai keberadaan Perda ini sangat penting sebagai payung hukum dalam merumuskan kebijakan dan strategi perlindungan lahan produktif, memperkuat tata kelola pemerintahan dan kelembagaan masyarakat, serta mendukung pengendalian, pemantauan, dan pendayagunaan lahan secara berkelanjutan di seluruh wilayah kabupaten/kota di Bali.
Secara struktur, Ranperda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan Secara Nominee ini disusun sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagai dasar penyusunannya. Raperda ini terdiri atas VIII Bab dan 24 Pasal, yang mengatur ruang lingkup antara lain lahan produktif dan pengendaliannya, larangan alih fungsi dan praktik nominee, pembinaan dan pengawasan, pendanaan, serta peran serta masyarakat.
DPRD Provinsi Bali berharap Perda ini nantinya dapat berfungsi responsif, progresif, dan implementatif dalam menjawab tantangan krisis lingkungan global, nasional, dan lokal, serta mampu menjaga keberlanjutan sumber daya lahan sebagai penopang utama kehidupan dan ekonomi masyarakat Bali. (Ketut Winata/balipost)










