
GIANYAR, BALIPOST.com – Pertumbuhan ekonomi Bali yang mencatatkan angka positif di tahun 2025 tidak boleh membuat pemerintah dan masyarakat terlena. Di tengah lonjakan kunjungan wisatawan yang menembus angka 6 juta jiwa, kemandirian desa adat menjadi harga mati agar krama Bali tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri.
Hal tersebut ditegaskan oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Gianyar, I Gusti Bagus Adi Widya Utama, S.IP., M.Si., saat membuka Seminar Desa Adat bertajuk “Turis Tembus 6 Juta, Desa Adat Menjadi Apa?” di Ruang Rapat LPD Desa Adat Tulikup Kaler, Selasa (23/12).
Dalam sambutannya, mewakili Bupati Gianyar, Gusti Bagus Adi mengapresiasi pertumbuhan ekonomi Bali yang mencapai 5,8 persen pada triwulan ketiga 2025 tertinggi di Indonesia. Namun, ia mengingatkan memori kelam pandemi Covid-19 yang sempat melumpuhkan PAD Gianyar dari Rp 600 miliar menjadi titik terendah.
“Pengalaman pandemi mengajarkan bahwa hampir 100 persen pendapatan kita bersumber dari pariwisata. Pariwisata harus dijaga, tetapi fondasi lain yaitu adat dan budaya harus diperkuat agar kita tidak rapuh,” ujarnya.
Ia mengibaratkan Bali sebagai “museum hidup”. Keunggulan Bali dibanding destinasi dunia seperti Swiss atau Vietnam bukanlah sekadar alam, melainkan tatanan adat yang diwariskan turun-temurun.
Menghadapi perang ekonomi masa kini, Pemkab Gianyar fokus pada penguatan Sumber Daya Manusia (SDM). Gusbem memaparkan program beasiswa bagi 1.000 anak setiap tahun dengan nilai Rp 60 juta per anak hingga tuntas.
“SDM yang kuat tidak boleh tergerus budaya luar. Di sinilah desa adat berperan menjaga jati diri Bali,” tegasnya.
Senada dengan Sekda, Ketua MDA Kecamatan Gianyar, Ngakan Putu Sudibya, ST, menyampaikan fakta objektif yang cukup memprihatinkan. Meski kunjungan wisman hingga Desember 2025 mencapai 6,7 juta orang, manfaat ekonomi yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal masih minim.
“Sekitar 85 persen akomodasi dikuasai investor asing. Krama Bali hanya menikmati sekitar 10 persen dari pertumbuhan ekonomi tersebut. Desa Adat hampir tidak mendapatkan apa-apa, padahal kita yang setiap hari menjaga dan mendoakan tanah ini,” ungkap Ngakan Sudibya.
Salah satu poin krusial dalam seminar ini adalah dorongan untuk membentuk Baga Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA) di tingkat kecamatan. Saat ini, jumlah BUPDA di seluruh Bali belum mencapai 200 unit.
Ngakan Sudibya mengusulkan agar desa-adat yang kecil bersatu membentuk unit usaha bersama di tingkat kecamatan guna memperkuat permodalan dan daya saing.
“Kalau Desa Adat kecil bergerak sendiri, sulit bersaing. Tapi kalau bersatu di tingkat kecamatan, modal dan daya saing akan meningkat tajam,” pungkasnya.
Seminar ini diharapkan menjadi momentum bagi 1.493 Desa Adat di Bali, khususnya di Gianyar, untuk bertransformasi menjadi lembaga yang mandiri secara ekonomi tanpa meninggalkan akar budaya dresta masing-masing.(Wirnaya/balipost)










