Anggota KPRP, Mohammad Mahfud MD, saat melaksanakan agenda serap aspirasi di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Jumat (19/12). (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (KPRP) menegaskan reformasi Polri tak bisa lagi ditunda. Maraknya keluhan publik soal praktik penegakan hukum, mulai dari dugaan pemerasan, beking kasus, hingga perlindungan terhadap koruptor disoroti sehingga perlu percepatan reformasi di tubuh kepolisian.

Hal itu disampaikan anggota KPRP, Mohammad Mahfud MD, dalam agenda serap aspirasi di Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Jumat (19/12). Kegiatan ini menjadi bagian dari rangkaian kunjungan KPRP ke sejumlah daerah untuk menyerap masukan langsung dari masyarakat.

“Polri dipilih lebih dulu untuk direformasi bukan karena sektor lain tidak bermasalah. Tapi karena Polri paling banyak mendapat sorotan, masukan, dan keluhan masyarakat,” kata Mahfud.

Menurut Mahfud, citra Polri sejatinya tidak sepenuhnya buruk. Namun, problem serius masih mengakar pada aspek penegakan hukum. “Yang jadi masalah itu penegakan hukum, bekingan, pemerasan, sampai melindungi koruptor dan kejahatan tambang. Itu yang sedang kami benahi,” ujarnya.

Baca juga:  Situasi Global, Penerbangan Qatar Airways dari Bali Sempat Dibatalkan

Serap aspirasi ini dipimpin Mahfud MD bersama anggota KPRP lainnya, Jenderal Polisi (Purn) Ahmad Dofiri. Mereka didampingi tim kelompok kerja KPRP, antara lain Ajar Budi Kuncoro, Dominique Nicky Fahrizal, Muradi, dan La Ode Muhammad Syarif. Peserta audiensi berasal dari berbagai unsur, mulai tokoh agama, tokoh adat, akademisi, mahasiswa, pengusaha, hingga organisasi masyarakat sipil.

Salah satu isu yang mengemuka dalam forum tersebut adalah kritik terhadap tampilan dan kultur kepolisian yang dinilai semakin militeristik. Mahfud menyoroti perubahan seragam polisi yang kini lebih menyerupai pakaian tempur.

“Dulu polisi tidak pakai sepatu boot dan pakaian dinas lapangan setiap hari. Itu pakaian dinas harian, tampilannya sipil dan berwibawa. Sekarang kesannya lebih militer,” kata Mahfud.

Baca juga:  Vaksinasi Sasar Pengunjung Pasar

Dia menilai penampilan berpengaruh terhadap perilaku aparat di lapangan. “Bukan kembali ke masa lalu, tapi kembali ke ruh awal kepolisian,” ujarnya.

Mahfud menyebut sejumlah masukan dari Bali juga menyoroti pentingnya penguatan kerja sama polisi dengan masyarakat adat dan pecalang. Menurut dia, pendekatan kolaboratif menjadi kunci menjaga keamanan tanpa mengandalkan pendekatan koersif.

“Kami ingin reformasi ini memperbaiki citra dan kinerja Polri secara nyata. Bukan kosmetik,” kata Mahfud.

Masukan serupa disampaikan I Made Mangku Pastika, mantan Kepala Kepolisian Daerah Bali sekaligus mantan Gubernur Bali. Pastika menilai percepatan reformasi Polri menunjukkan besarnya perhatian negara terhadap institusi kepolisian yang memegang peran sentral dalam sistem penegakan hukum.

“Polisi itu bukan hanya penegak hukum. Polisi mengurusi keamanan, bencana, terorisme, bahkan konflik bersenjata. Tapi tugas pokoknya tetap memelihara kamtibmas, melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat,” kata Pastika.

Baca juga:  Devil Tear Makan Korban, Warga Tiongkok Tewas Saat Selfie

Dia mengingatkan agar polisi kembali menghayati jati dirinya sebagai rastra sewakotama, abdi utama bagi nusa dan bangsa. “Mengabdi itu bekerja dan berkorban, bukan sekadar bekerja untuk gaji,” ujarnya.

Pastika juga mengkritik penggunaan pakaian dinas lapangan dan sepatu boot yang dinilai tidak relevan untuk tugas-tugas rutin kepolisian. “Itu tampilan militeristik dan bisa memengaruhi cara bertindak. Brimob boleh pakai itu, tapi polisi harian seharusnya tampil sipil dan sederhana,” kata dia.

Selain soal kultural dan penampilan, Pastika mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia Polri. Dia mengusulkan agar personel kepolisian, terutama yang bertugas di fungsi staf dan reserse, memiliki latar pendidikan minimal sarjana.

“Babinkamtibmas seharusnya perwira, bukan bintara. Mereka berhadapan dengan kepala desa yang S2, dengan masyarakat yang kritis. Kalau hanya tamatan SMA, kasihan juga,” ujarnya. (Wayan Wiadnyana/denpost)

BAGIKAN