
TABANAN, BALIPOST.com – Polemik pemasangan seng di sejumlah titik lahan pertanian Jatiluwih berdampak langsung terhadap kunjungan wisatawan. Manajemen DTW Jatiluwih mengungkapkan, sedikitnya belasan travel agent membatalkan kunjungan dalam beberapa hari terakhir karena khawatir terjadi aksi demonstrasi maupun gangguan aktivitas wisata di area persawahan berstatus Warisan Budaya Dunia tersebut.
Manager Operasional DTW Jatiluwih, I Ketut Purna mengatakan, banyak agen perjalanan menghubunginya untuk membatalkan kunjungannya ke Jatiluwih sejak pemasangan seng dilakukan. Mereka mengira sedang terjadi aksi protes serta mengetahui adanya penertiban terhadap 13 bangunan yang dinilai melanggar ketentuan kawasan.
“Sejak pagi banyak freelance dan travel agent yang membatalkan. Hari ini saja sudah lebih dari sepuluh travel yang menyampaikan pembatalan kunjungan. Mereka mengira ada demo,” jelas Purna, Jumat (5/12).
Kata Purna yang akrab disapa Jhon ini, pihak manajemen juga akan menyurati badan pengelola agar persoalan ini bisa cepat diselesaikan. Ia menegaskan, persoalan pemasangan seng bukan merupakan kewenangan pihak manajemen operasional. Namun demikian, pihaknya tetap menyusun laporan dan draf surat kepada badan pengelola DTW agar langkah penanganan lebih cepat dilakukan sehingga tidak mengganggu kelancaran pariwisata di Jatiluwih.
“Saya akan berkirim surat ke badan pengelola agar persoalan ini benar-benar diperhatikan dan ditindaklanjuti. Tugas kami menjaga pariwisata, memastikan tamu datang dan kembali datang,” ujarnya.
Disinggung mengenai kontribusi pengelola DTW terhadap petani, Jhon mengatakan, selama ini sudah berjalan, bahkan rencananya akan ditingkatkan. Selama ini petani menerima berbagai bentuk dukungan seperti bibit gratis dan pupuk urea sesuai kebutuhan pekaseh. Selain itu, DTW mengalokasikan dana Rp30 juta per tempek untuk upacara ngusaba, serta Rp7 juta untuk ngusaba alit.
Rencananya, mulai Desember 2025, DTW juga menyiapkan bantuan olah lahan sebesar Rp2,5 juta per hektare (Rp25 ribu per are) untuk petani saat memulai musim tanam. Bantuan operasional subak juga digelontorkan sejak Mei 2025 berupa Rp2 juta per bulan untuk Tempek Besi Kalung, sedangkan tempek di luar wilayah inti menerima Rp750 ribu per bulan sebagai bagian dari program CSR.
Saat ini, manajemen masih menunggu jadwal pertemuan dengan tujuh tempek di kawasan Jatiluwih meliputi Telabah Gede, Besi Kalung, Uma Dwi, Gunung Sari, Uma Kayu, Kesambi, dan Kedamian. Purna menambahkan, pihaknya juga meluruskan aturan terkait bangunan di kawasan sawah. Ia menyebutkan, pada masa pemerintahan sebelumnya, petani masih diperbolehkan membangun bangunan sederhana berukuran 3×6 meter sebagai tempat berteduh, makan siang, atau menaruh alat dan hewan ternak sapi.
Jika saat ini bangunan tersebut digunakan untuk menjual produk lokal, hal itu masih diperbolehkan sepanjang bentuknya menyerupai style pondok atau kandang sapi, bukan bangunan permanen. Namun demikian, ia mengingatkan agar pembangunan besar-besaran di sawah tidak dilanjutkan demi menjaga keberlanjutan status UNESCO yang menjadi kebanggaan masyarakat.
“Kalau kita tetap membiarkan pembangunan besar di sawah, dampaknya akan terasa dalam jangka panjang. Kita tidak mau ditinggal UNESCO. Kita ingin tetap bertahan dan berkelanjutan untuk anak cucu,” tegasnya. (Puspawati/balipost)










