
DENPASAR, BALIPOST.com – Alih fungsi lahan produktif di Bali semakin tak terbendung. Per tahunnya mencapai 600-700 hektare. Kondisi ini pun semakin mengkhawatirkan, karena mengancam ketahanan pangan di Bali.
Akademisi Pertanian Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. Ir. I Gusti Bagus Udayana, M.Si., mengatakan Pulau Bali tengah menghadapi situasi kritis terkait keberlanjutan lahan pertanian produktif. Dalam 5 tahun terakhir, hampir 4.000 hektare sawah di Bali hilang akibat alih fungsi lahan.
Kondisi ini membuat Bali masuk kategori berbahaya, terutama karena Perpres Nomor 12 Tahun 2025 menetapkan target Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) minimal 87 persen dari total lahan sawah. Sementara Bali baru mencapai 62 persen. Untuk mencapai target tersebut, Bali harus mengembalikan sedikitnya 6.000 hektare lahan sawah.
Kaprodi Agroteknologi Fakultas Pertanian, Sains, dan Teknologi Unwar ini mengatakan alih fungsi lahan pertanian, terutama sawah produktif, tidak hanya mengganggu pasokan pangan tetapi juga merusak ekosistem alam. Sebab, sawah memiliki peran ekologis penting.
Di antaranya, menjaga keseimbangan air tanah, mencegah banjir, dan menjaga keberlanjutan lingkungan. “Jika pembangunan terus mengorbankan lahan pertanian, Bali berpotensi mengalami krisis pangan dan krisis lingkungan sekaligus,” tegas Bagus Udayana, Kamis (27/11).
Untuk menghentikan tren ini, beberapa langkah penting perlu segera dilaksanakan. Diantaranya, penghentian total alih fungsi lahan produktif, terutama sawah aktif.
Pengembalian lahan yang sudah dialihfungsikan agar kembali menjadi sawah. Pemetaan lahan nonproduktif sebagai lokasi cetak sawah baru.
Penguatan pengawasan tata ruang terhadap investor dan pengembang. Serta edukasi masyarakat mengenai pentingnya menjaga lahan produktif demi masa depan Bali.
“Pembangunan tidak harus mengorbankan ketahanan pangan dan keseimbangan alam. Pembangunan suatu daerah harus senantiasa mengutamakan keseimbangan antara pembangunan fisik dan keberlanjutan lingkungan, terutama dalam menjaga lahan produktif pertanian. Hal ini sangat penting untuk memastikan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan jangka panjang,” ujarnya.
Menurutnya, Bali sebagai destinasi wisata dunia harus tetap menjaga harmoni antara ekonomi, lingkungan, dan pangan. Jika alih fungsi lahan tidak dihentikan, maka masa depan pangan Bali terancam.
Namun jika semua pihak bersatu baik pemerintah, investor, serta masyarakat Bali hal itu tidak hanya bisa mempertahankan ketahanan pangan, akan tetapi juga berpeluang mencapai surplus secara berkelanjutan. “Bali tidak boleh kehilangan lebih banyak sawah. Demi generasi mendatang, lahan produktif harus dijaga, dilindungi, dan dipulihkan kembali,” pesannya.
Ketua Pansus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha juga menyoroti kondisi ini. Menurutnya, persoalan pertanahan Bali makin pelik karena Bali sebagai destinasi wisata dunia menjadi rebutan pemodal besar dari luar Bali.
Arus modal besar baik yang bersumber dari dana legal maupun “ilegal” membuat Bali seolah dapat “dibeli” tanpa kendali.
Padahal, regulasi nasional telah mengatur secara tegas larangan kepemilikan tanah oleh orang asing melalui Undang-Undang Pokok Agraria maupun ketentuan penanaman modal asing (PMA). Namun, PMA menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan tanah di Bali. Ada dengan cara nominee dan sebagainya yang kerap dimanfaatkan untuk menyiasati celah regulasi.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali ini mengungkapkan alih fungsi lahan produktif di Bali meluas setelah pandemi. Bahkan, ada satu pengusaha bisa menguasai lahan hingga ratusan hektare. Padahal mekanisme pengendalian telah diatur melalui UU Nomor 41 Tahun 2009 dan PP Nomor 1 Tahun 2011.
Fenomena itu, menurutnya, dipicu cara pikir pemilik modal yang hanya mengejar keuntungan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan ruang. Sikap pragmatis inilah yang mendorong eksploitasi ruang Bali tanpa memperhitungkan lingkungan maupun masa depan.
Ke depan, Supartha menegaskan Pansus TRAP akan terus menjalankan kewenangannya untuk memastikan tata ruang dan perizinan tidak boleh dikuasai oleh kepentingan tertentu. Ia menekankan perlunya keseragaman persepsi antara aparat, penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat agar pelanggaran bisa ditangani tegas.
Sementara itu, Gubernur Bali, Wayan Koster menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi untuk menahan laju hilangnya lahan produktif. Ia sudah merancang peraturan daerah (perda) untuk pengendalian alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan komersial dan pariwisata.
Sebab, setiap tahun sekitar 600 hingga 700 hektare lahan produktif mengalami alih fungsi. Laju ini jika tidak dihentikan akan menurunkan ketahanan pangan Bali secara drastis.
“Kami bersama Bupati dan Wali Kota se-Bali sedang memetakan lahan-lahan nonproduktif untuk dijadikan sawah baru. Target kami adalah 6.000 hektar tambahan lahan sawah untuk mengejar kekurangan LP2B,” tegasnya, Rabu (26/11). (Ketut Winata/balipost)










