
DENPASAR, BALIPOST.com – Hari suci Galungan dilaksanakan setiap Rabu Kliwon Wuku Dungulan (210 hari sekali) sebagai momen penting untuk terus mendengungkan penegakan dharma atau kebenaran. Pemaknaan ini perlu ditingkatkan, mengingat sampai saat ini masih lebih fokus konsentrasinya pada urusan ritual yakni persembahan bebanten.
Dosen pengampu mata kuliah Sosiologi Hukum dan Hukum Adat pada Program Magister Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., Minggu (16/11) mengatakan penjor dimaknai sebagai gunung suci, lambang kemakmuran, serta gambaran harmoni yang merefleksikan filosofi Tri Hita Karana dalam menjaga hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan.
Menurutnya, pemasangan penjor juga merupakan wujud syukur dan bhakti umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan setiap elemen penjor memiliki makna tersendiri sesuai pedoman sastra agama Hindu.
“Pemasangan penjor biasanya dilakukan pada Penampahan Galungan sebagai tanda turunnya para Dewa dan leluhur ke bumi untuk memberikan berkah serta melindungi umat manusia,” ungkapnya.
Dikatakan, dalam konteks sosiologi hukum, penjor merupakan manifestasi hukum adat dan norma sosial yang ditaati secara kolektif oleh masyarakat Hindu. Meski tidak diatur secara tegas dalam awig-awig maupun perarem, pemasangan penjor tetap dijalankan sebagai bentuk kepatuhan terhadap aturan tidak tertulis.
Masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu tidak terlepas dari nuansa hukum adat yang kental dengan nilai agama. Hal ini sejalan dengan teori Reception in Complexu yang diperkenalkan ahli hukum adat Belanda, Snouck Hurgronje, yang menegaskan kuatnya simbol budaya dan religius dalam masyarakat Bali.
Pemasangan penjor secara serentak menjadi visualisasi identitas komunal sekaligus kepatuhan terhadap norma adat.
Menanggapi fenomena yang sempat viral di media sosial terkait aturan jarak penjor dari tiang listrik yaitu 2,5 meter, Wayan Rideng menegaskan bahwa penjor memiliki beragam bentuk dan fungsi.
Ada penjor untuk kemeriahan hari raya nasional, penyambutan tamu, pameran, hingga penjor khusus untuk hari raya keagamaan.
“Pemasangan penjor dalam menyambut hari raya keagamaan memiliki makna khusus. Karena itu, pemasangan penjor menurut pakem agama Hindu dan adat istiadat di Bali yang sudah ada sejak turun temurun pada hari raya Galungan dan Kuningan sesuai dengan filosofi agama Hindu Bali,” pungkasnya.
Sementara itu, akademisi Unhi Denpasar, Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. menjelaskan pada saat hari suci Kuningan, sepuluh hari setelah Galungan berlalu umat kembali diingatkan untuk terus menegakkan dharma. Sebab sesuai suratan Lontar Sundarigama dikatakan Tuhan akan segera kembali ke kahyangan: ‘Saniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana … pakenanya ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi…‘, artinya pada Sabtu Kliwon Kuningan saat mana hadir dengan anugrah-Nya para dewata dan roh-roh suci leluhur, sucikan perbuatan, selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran, tiada henti memusatkan pikiran pada Hyang Widhi.
Hari suci Kuningan mengisyaratkan agar umat semakin uning (kauningin) untuk selalu eling, ngening-ngening akna citta nirmala tan pegating samadhi – membersih-sucikan diri lahir batin (wahya adyatmika) untuk nantinya memuncak pada capaian kesadaran spiritual.
Selanjutnya “bertanggung jawab” atas hidupnya dengan menyiapkan berbagai perbekalan yang secara simbolik ditandai dengan tampilan atribut ciri khas Kuningan yaitu: Tamiang, Ter, Endongan, dan Sampian Gantung. Tamiang, adalah semacam tameng atau perisai, simbol perlindungan diri dari segala macam gangguan, ancaman atau bahkan serangan.
Oleh karenanya, bentuk tamiang berupa bulatan yang mengarah pada seluruh penjuru mata angin, adalah sebagai simbol Dewata Nawa Sanga, melindungi manusia dari segala arah.
Selanjutnya Ter, sejenis senjata berbentuk anak panah, simbol ketajaman idep (pikiran), yang apabila digunakan dengan baik dan benar akan dapat ngidupin idup (menghidupkan kehidupan). Lalu Endongan, simbol tempat perbekalan (tas/kompek), tiada lain bekal hidup berupa widya/jnana (ilmu pengetahuan) tentunya plus teknologi untuk memenangkan persaingan hidup kekinian. Terakhir, Sampian Gantung, yang biasanya ditempatkan pada setiap sudut rumah, sebagai simbol penolak bala (mala), baik yang bersifat niskala maupun sekala agar terhindar dari malapetaka.
Dengan peragaan berbagai macam simbol peralatan perang tersebut, umat (Hindu) melalui ritual suci Galungan dan Kuningan, mendapat amanat untuk terus ajeg menegakkan dharma agar tidak sampai dikalahkan dominasi adharma yang di zaman Kali cenderung kian menguat melalui perilaku “mamenjor” yang memang tidak pernah kendur. (Ketut Winata/balipost)










