Koalisi Masyarakat Peduli Jimbaran mendatangi Kantor DPRD Bali, Rabu (5/11). (BP/ken)

DENPASAR, BALIPOST.com – Puluhan orang dari Koalisi Masyarakat Peduli Jimbaran mendatangi Kantor DPRD Bali, Rabu (5/11) sekitar pukul 11.15 WITA.

Kehadiran warga tersebut mendapat pengawalan 67 personel gabungan dari Polresta Denpasar dan Polsek Denpasar Timur (Dentim).

Massa sekitar 50 orang itu tiba di Kantor DPRD Bali naik dua mobil minibus. Mereka mengenakan pakaian adat dan diarahkan ke ruang rapat lantai 3.

“Kami standby sejak pagi pukul 09.00 WITA. Sudah tugas kami melakukan pengamanan,” kata Kabagops Polresta Denpasar Kompol Wiranata, didampingi Kapolsek Dentim Kompol Ketut Tomiyasa.

Kedatangan koalisi ini diduga untuk mengadukan sengketa tanah di Jimbaran yang melibatkan pihak swasta. Dalam spanduk yang dibawa koalisi saat mendatangi Kantor DPRD Bali, tertera tulisan terkait Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Telantar. Hal penguasaan atas tanah negara (HGB) yang diberikan ke pihak swasta dengan tujuan pengembangan daerah wisata harus dikembalikan ke negara jika telah ditelantarkan lebih dari 3 tahun.

Baca juga:  Nataru dan Galungan Dipastikan Tak Picu Kenaikan Harga Pangan

Mengutip data dari Kantor Berita Antara, kasus ini berawal pada tahun 1990-an saat 31 Ha tanah adat Desa Jimbaran dijual dengan status HGB kepada PT Citratama Selaras (CTS).

Saat itu masyarakat adat hanya mendapatkan kompensasi sebesar Rp35 juta, padahal harga tanah saat itu Rp7 juta per meter persegi. Menurut Bendesa Jimbaran, Anak Agung Made Rai Dirga, status HGB tanah tersebut berakhir pada 2019.

Baca juga:  Kasus WNA Miliki KTP, Kejari Denpasar Tetapkan 5 Tersangka

“Ketika HGB tanah adat berakhir, desa adat tidak diberitahu apakah diperpanjang atau tidak. Kan seharusnya ketika HGB itu berakhir diberitahukan dong ke adat,” kata Agung Dirga pada Kamis (31/7/2025).

Agung Dirga pun mendesak pihak CTS untuk segera mengembalikan tanah adat mengingat kondisi masyarakat adat yang miskin di tengah lokasi turisme yang megah di Jimbaran.

Agung Dirga mencatat sekurangnya ada 300 kepala keluarga yang terdampak akibat sengketa tanah adat ini.

Baca juga:  Sejumlah Maskapai Mulai Ajukan Penerbangan Rute Tiongkok-Bali

“Mereka tidak bisa bertani, tidak bisa melaut, aksesnya terputus, ada pura di tanah itu tapi sudah dipagar sehingga (masyarakat) tidak bisa masuk untuk beribadah. Jadi ada kantong kemiskinan di tengah-tengah wilayah yang banyak sekali hotel-hotel, tempat-tempat turisme,” kata Anak Agung Made Rai Dirga.

Tanah adat yang menjadi sengketa tersebut kini dikembangkan oleh PT Citratama Selaras untuk proyek Jimbaran Hijau. (Kerta Negara/balipost)

BAGIKAN