Massa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Pati, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBBP2), dalam beberapa hari ini menjadi perhatian masyarakat. Kebijakan kenaikan pajak ini dikarenakan bersentuhan langsung dengan masyarakat, sebagai objek dari pajak itu sendiri.

Pemda ramai-ramai menaikan PBB dengan alasan mememuhi anggaran daerah, berupa belanja daerah. Ironisnya, kebijakan kenaikan PBB ini dilakukan di tengah beban masyarakat saat ini yang makin terhimpit dalam ekonomi.

Aksi demo masyarakat Pati yang menuntut dilengserkannya Bupati Pati, Sudewo, menjadi salah satu dampak kebijakan dari kenaikan PBB yang melambung tinggi, mencapai 250 persen.

Selain daerah Pati, dikutip dari berbagai sumber, hingga Senin (18/8), ada sejumlah daerah telah menaikan PBB-P2.

Enam daerah dengan kenaikan tertinggi adalah Kabupaten Jombang mencapai 1.202 persen, Kota Cirebon 1.000 persen, Kota Solo mencapai 400 persen, Kabupaten Semarang mencapai 441 persen, Kabupaten Jeneponto mencapai 400 persen, dan Kabupaten Bone mencapai 300 persen.

1. Kabupaten Jombang (Jatim)

Baca juga:  Tahun Politik dan Kenaikan Pajak Sebabkan Ekonomi Bali Tak Menentu

Kasus kenaikan sampai 1.202% pada objek tertentu ini membuat banyak warga memilih jalur keringanan/keberatan. Dari informasi terakhir, pemda dan DPRD berjanji merevisi kebijakan berlaku 2026 dan evaluasi NJOP lapangan.

2. Kota Cirebon (Jabar)

Keluhan publik atas tagihan naik hingga ±1.000% (contoh: Rp6,2 juta naik menjadi Rp65 juta). Pemkot dan DPRD merespons sorotan ini.

3. Kota Solo (Jateng)

Wacana kenaikan besar (hampir 400%) terjadi pada 2023, lalu ditunda menyusul penolakan warga.

4. Kabupaten Semarang (Jateng)

Isu kenaikan 441% memicu protes dan dibatalkan setelah terbit SE Mendagri 14 Agustus 2025. Tarif kembali ke tahun sebelumnya dan kelebihan dibahas dengan mekanisme pengembalian.

5. Kabupaten Jeneponto (Sulsel)

Muncul klaim naik hingga 400% namun dibantah Bapenda setempat. Meski membantah, pemerintah menyebut ada dasar Perdanya.

6. Kabupaten Bone (Sulsel)

Klaim publik terjadi kenaikan 300% dan memicu unjuk rasa. Pemkab membantah dan menyebut penyesuaian sekitar 65% akibat pembaruan ZNT/BPN.

Baca juga:  Hindari Denda, WP Diimbau Bayar PBB Sebelum 31 Agustus

Isu ini sedang dievaluasi di tingkat provinsi.

Dasar Hukum Kenaikan PBB

Lonjakan kenaikan PBB ini, merupakan kebijakan setiap daerah yang berdasarkan atas kewenangannya sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Regulasi ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah daerah menetapkan tarif, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP), serta kebijakan kenaikan atau penyelesaian.

Di samping itu, imbas dari lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menjadi dasar hukum terbaru yang menyatukan aturan pajak daerah, termasuk PBBP2, yang memberikan ruang fleksibilitas tarif bagi Pemerintah Daerah.

Berawal dari kewenangan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diserahkan kepada pemerintah daerah, Kabupaten/kota, kemudian ditindak lanjuti dengan pembuatan rugulasi peraturan daerah di setiap Kabupaten dan Kota, dalam mengambil kebijakan menaikan PBB.

Termasuk kebikan kenaikan PBBP2 yang berimbas di Kabupaten yang ada di Provinsi Bali. Salah satunya Kabupaten Badung, yang fantastis menaikan PBB di tiga kecamatan.

Baca juga:  Jadi Ketua Komisi III DPR, Kahar Bantah akan Amankan Perkara Hukum Novanto

Di antaranya, Kecamatan Kuta Utara: Lahan tegalan dari Rp 28.774 (2024) menjadi Rp 1.027.225 (2025), mengalami kenaikan sekitar 3.569 persen.

Untuk lahan sawah dari Rp 337.709 menjadi Rp 6.562.608, alami kenaikan sekitar 1.943 persen. Sedangkan di Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan, kenaikan NJOP membuat tagihan PBB-P2 meningkat hingga 150 persen, dari sekitar Rp 4 juta menjadi Rp 10 juta.

Demikian pula Kabupaten Gianyar, yang menaikan PBBP2 mencapai 700 persen. Namun, Bupati Agus Mahayastra berdalih bahwa kenaikan tersebut hanya ditujukan pada sektor usaha. Sedangkan untuk tanah pertanian tetap gratis.

Kebijakan kenaikan pajak PBB dilakukan guna penyesuaian nilai jual objek pajak (NJOP), seiring dengan harga tanah dan properti yang terus meningkat.

Hanya saja, bagi masyarakat kenaikan PBB ini seringkali menanggapi dengan rasa keberatan. kenaikan pajak, dianggap sebagai beban tambahan bagi masyarakat. (Agung Dharmada/balipost)

BAGIKAN